Jumat, 26 Desember 2014

# Dapatkah, Kekasih?

          Dapatkah kita bertemu kembali, kekasih? Aku rindu dengan pertemuan. Aku rindu menyampaikan rasa rindu.

          Kekasih, bisakah kita merancang suatu momen di mana kebetulan selalu berpihak pada kita? Karena pertemuan secara tiba-tiba akan jauh lebih menarik daripada pertemuan yang sudah direncanakan.

          Aku ingin bertemu denganmu. Sekedar ingin menyapamu, atau mendengar semua cerita tentang pacar barumu. Tentang kebaikannya yang tidak kau dapat dariku.

          Tak perlu memikirkan keadaanku, kekasih. Aku memang pencemburu, tapi aku tak mungkin mencemburui semua kebahagianmu.

          Wahai, kekasihku. Sapalah aku di awal bulan Januari. Sekedar untuk memastikan, jika namamu masih hadir di tahun yang akan datang.



Bekasi, 26 Desember 2014
Dariku, lelaki yang merayakan tahun baru bersama kenangan.

# Hujan Bulan Desember

       Aku rindu hujan bulan Desember. Di suatu taman wisata, kita–ya, hanya kita, bahkan serangga pun tak ada–bersama-sama menahan dinginnya udara Jakarta. Kau masih setia di sampingku. Memancarkan wajah yang luar biasa pucat.

       ‘Astaga, kamu jangan menggodaku. Aku tak bisa berpaling darimu, wajah pucatmu sangat cantik. Kau harus tau itu.’ Ucapku dalam hati.

     Gemericik air hujan mengimbangi suara getaran yang kau ciptakan dari gigimu. Kamu lucu. Kamu lucu di segala peristiwa.

       Sekian menit kita berada di bawah atap rumah gubuk. Hujan masih terus menghantam lembabnya tanah Jakarta. Kamu menatapku, seolah itu adalah tatapan terakhir yang bisa kau sampaikan. Aku menggenggam tanganmu, memberimu sedikit kehangatan. Ya, hanya sedikit, tapi penuh dengan kasih sayang.

       ‘Sepatumu kotor, liat deh!' Kamu menunjuk sepatu lusuhku menggunakan sebatang kayu yang tergeletak di dekat atap gubuk. Pikirku, Ah, apa peduliku dengan sepatu, aku sedang bersama gadis cantik saat ini.

    Dan kamu kembali menatapku. Tatapan itu, tatapan mata sayu yang melegenda. Aku terperanga. Rasanya.. ah, rasanya ingin kupeluk ragamu. Memelukmu dengan alasan tidak masuk akal, seperti : Aku mengagumi mata sayumu, boleh kupeluk tubuhmu?

     Aku bersumpah akan memelukmu dengan cara yang menyenangkan. Dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya. Percayalah, aku bersumpah atas nama hujan bulan Desember.

          Untukmu, semesta alam, dapatkah kau mengulang hujan bulan Desember di bulan Desember lain? Peristiwa itu, pertistiwa 4 tahun lalu, akan menjadi pertanyaan penuh misteri: Sebenernya, hujan yang membuat romansa menjadi indah, atau romansa yang membuat hujan menjadi indah?

          Ah, entahlah. Yang kutau hanya satu, saat ini, aku sangat merindukan hujan bulan Desember.


Bekasi, 26 Desember 2014.
Dariku, lelaki yang pernah ingin memelukmu di tengah hujan.

# Eufemisme

     Ada beberapa hal yang sangat aku takutkan selain kematian. Yaitu perpisahan dan kenangan.

          Bagaimana mungkin kita bisa membuat kenangan, lalu menghancurkannya dengan perlahan? Menghancurkan kenangan tak ada bedanya dengan menghancurkan peradaban. Hanya penyampaiannya saja yang sedikit halus. Penggunaan eufemisme yang tepat, menurutnya.

          Pun dengan perpisahan. Untaian kata ‘selamanya’ tak pernah jujur. Kata ‘selamanya’ hanya digunakan oleh mereka para pembohong sejati.

          “Aku. Kamu. Selamanya. Bahkan Bencana alam tak dapat memisahkan kita”

          Sekali lagi, ‘selamanya’ juga termasuk eufemisme. Eufemisme dari kata perpisahan.

          Aku ndak bermaksud menyinggung siapapun, tapi menurutku, pembohong sejati adalah pemilik eufemisme yang handal.

          Aku benci dengan permainan kata. Kata selalu menipu.
          Selalu.
          Aku hampir mati dibuatnya.


Bekasi, 26 Desember 2014.
Dariku, penerima makna eufemisme yang payah.

# Haruskah, Sayang?

       Untukmu, wanita pemilik mata sayu. Balaslah ucapan salamku. Balas, walau hanya melalui matamu.

          Sabtu sore di bulan Juni, aku datang ke rumahmu, menemui seorang wanita yang sangat ramah, kebaikan penuh toleransi. Wanita yang biasa kau panggil ‘ibu’ itu dapatkah suatu saat nanti kupanggil ‘ibu’ juga? Ibu dalam arti harfiah. Ibu. Cukup Ibu. Tak ada tambahan kata lain. Tak ada nama di belakangnya.

          Lelaki payah sepertiku hanya bisa mengagumimu dalam jarak yang sangat jauh--jarak dimana kejujuran dan kasih sayang tak bisa saling menyatu. Padahal, kamu pun tau, kita sudah bertahun-tahun bersama, tapi rasa malu masih terus memelukku. Jenis pelukkan yang sulit untuk dilepaskan.

          Pelukkan yang mengubur asaku untuk hidup bersamamu.

          Hai, wanita pemilik mata sayu. Haruskah aku memaksakan diri untuk lepas dari pelukan rasa malu, demi mendapat pelukan penuh kasih sayang dari gadis semanis kamu?

          Haruskah?

         
Bekasi, 25 Desember 2014.
Dariku, yang rindu akan pelukmu.