Senin, 03 Oktober 2016

Sulit Mengalirkan yang Padat

Hari ini menyenangkan sekali. Aku mendapat kejutan dari beberapa teman di kampusku. Ulang tahunku memang sudah lewat, namun cara mereka menghargainya seakan memberiku kesempatan untuk mengulangnya kembali. Hari ini 3 oktober, yang nuansanya seperti 30 september.

Aku senang ketika mereka memberi ucapan selamat kepadaku. Aku senang ketika tangan-tangan kami saling berjabatan. Ketika gelak tawa meledak, seluruh kegaduhan di sekitar kami tampak seolah sunyi. Keriuhan yang tercipta karena keakraban adalah kebisingan yang justru menenangkan.

Aku meniup lilin dengan tubuh berkeringat. Sumbu-sumbunya padam dan mengepulkan asap yang melayang entah ke mana. Tepuk tangan bersautan. Ucapan selamat kembali diperdengarkan.

Hari ini lengkap sudah aku; bertambah usiaku.

Kehidupan yang cair terus mengalir ke segala arah, menandakan bahwa segalanya akan segera berubah. Hingga akhirnya ada satu yang tetap dan tak berpindah.
Yaitu sepi.

Bekasi, 3 Oktober 2016

Senin, 29 Agustus 2016

Seorang Gadis dan Ayahnya

Kemandirian,
Bukan tentang keheningan yang dipaksakan.
Atau kemurungan yang
Ditekan sendiran.
Kemandirian, katamu, adalah tentang
Menyesuaikan keadaan.
Tanpa perlu tolak genggaman;
Juga peluk-dekapan.

Dunia sedang ditaburi ancaman;
Kekalutan tak menentu.
Tempat berlindung paling aman
Adalah punggung ayahmu.

Gadis manis, dengarkan aku:
Kesediaanmu melangkah bersama ayah
Tidak pernah terlihat payah.
Teruslah berjelajah membelah lelah;
Genggam tangannya tanpa perlu
Memancing tanya.

Sebab ayahmu menantikan kemandirian,
Bukan kesendirian.

Farhane.
Bekasi, 29 Agustus 2016.

Selasa, 09 Agustus 2016

Aku-kamu Menuju Debu

Tanah-tanah tergesek langkah menolak kalah
Berjelajah membelah lelah.
Kau resah,
Resahmu menjelma pasrah, sebab kata
Yang kau ucap teramat susah

Istirahatlah, manisku,
Aku bukan apa selain saling menyelamatkan.
Di usia tujuh puluhan,
Hanya genggam tangan yang mampu
Selamatkan kita dari penuaan.

Pandanglah aku, kasih,
Pandang dengan kesungguhanmu.

Bahu rapuhku tertumpu
helaian putih berkelabu,
menyeruak, menyapu seluruh aku.

Waktu hanya akan jadikan kita debu,
Tak sampai membelah aku-kamu.

F, Bekasi 9 Agustus 2016.

Sabtu, 25 Juni 2016

Pernikahan: Ketika Hidup yang Cair Dialirkan ke Muara Baru

Minggu lalu aku dan teman sekolah mengadakan pertemuan untuk sekedar merayakan bulan Ramadhan. Seperti masyarakat umumnya, kami gemar mengadakan reuni dengan alasan berbuka puasa bersama.

Awalnya, aku ingin langsung menulis kegusaran ini ketika tiba di rumah. Namun jemariku seperti kehilangan selera bertemu papan ketik. Sekrup-sekrup di kepalaku juga seperti berterbangan entah ke mana. Sudah aku paksakan untuk menulis, namun hasilnya tetap buruk. Kalimat yang aku rangkai seperti kumpulan kata yang mendorong pembacanya untuk muntah.

Aku teringat ucapan Hemmingway tentang teknik menulis. Kalimat “You shouldn’t write if you can’t write” seakan menjadi pembela serta pembenaran bagiku untuk tetap tidak menulis. Bayangkan, bagaimana jadinya jika perasaan mengendap lama di dada namun tidak dituangkan kepada siapa-siapa. Mungkin jika ditahan satu sampai dua hari lagi, organ tubuh di area dadaku akan mengalami disfungsi dan berakhir pada kematian. Benar-benar konyol.

Jadi hari ini aku ingin menulis tentang pertemuanku bersama  teman-teman lama.

Sekitar tiga atau empat jam kami berkumpul di satu meja panjang. Membicarakan hal-hal lucu sampai kepada kegiatan serta kesibukan kita masing-masing. Banyak di antara kami yang masih bergelut dengan kuliahnya. Namun tidak sedikit pula yang sudah sibuk dengan pekerjaan dan segala hal yang menyita seluruh waktu hidupnya. Tentu dengan tiket ijazah SMA (biasanya) mereka ditempatkan sebagai operator produksi pada sebuah pabrik, yang mau tidak mau harus menukar waktu istirahatnya dengan jam kerja tambahan. Salah satu teman saya bercerita, bahwa dalam sehari dia bisa berada 15 jam di dalam pabrik. Benar-benar 15 jam. Dia harus menahan kebisingan suara mesin dan segala kebosanan yang diam-diam mengikis waktu hidupnya.

Dari satu cerita yang terbentur cerita lain. Tiba-tiba ada satu berita menarik yang dituturkan oleh teman bernama Ulfi. “Temen-temen,” kata dia, sambil menggigit bibir bawahnya. “Akhir tahun ini, gue rencananya mau nikah. Kira-kira kalian bisa dateng nggak?”

Tentu saja bukan pertanyaan Ulfi tentang kehadiran yang menjadi permasalahan. Melainkan keputusannya untuk menikah itu sendiri. Jika dilihat dari usia, Ulfi memang sudah matang. Umurnya 20 tahun, sama seperti usiaku. Hanya saja dia perempuan, yang dalam budaya kita sudah menjadi kodrat umum menikah di usia muda. Atau paling tidak, tidak terlalu tua.

Aku merasa kehilangan mendengar kabar itu. Bukan karena aku menyukai Ulfi dalam konotasi intim. Tapi karena dia salah satu bagian dari teman sekolahku, dan dia pula orang pertama yang memutuskan untuk menikah. Jadi, kemungkinannya untuk terus bertemu dan berbincang dengan kami akan berkurang. Menyedihkan, namun itu bagian dari kedewasaan. Tidak ada satu pun dari kita yang mampu menolak proses. Karena sekalipun kita menghindari kedewasaan, usia akan terus berjalan. Energi menjadi satu-satunya bukti perubahan. Dan yang paling mengerikan adalah: kesepian.

Entah setiap kali mendengar kabar pernikahan—khususnya dari teman dekat—aku selalu terbayang-bayang puisi Chaeril Anwar yang berjudul Tak Sepadan. Puisi ini selalu mewakili perasaanku tentang kehilangan. Bukan kehilangan dalam makna sederhana. tapi kehilangan dalam makna buruk yang luar biasa. Karena pernikahan adalah perpisahan abadi antara kita dan orang tercinta. Pernikahan merombak seluruh alur kehidupan kita. Yang lebih kontras lagi, pernikahan sanggup mengubah perilaku dan kebiasaan setiap individu. Maka dari itu pernikahan adalah perpisahan terbesar nomor dua dalam hidup, setelah kematian. Apalagi jika objek yang menikah itu adalah orang terkasih, bisa-bisa kamu berkeyakinan bahwa kematian masih lebih baik dari pernikahan.

TAK SEPADAN
Oleh: Chaeril Anwar

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk sumpahi Eros.
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga dinding terbuka.

Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.
(Februari, 1943)

Pertama kali aku membaca puisi tersebut kurang lebih dua tahun lalu, ketika usiaku 18 tahun. Saat itu aku membayangkan orang terdekatku (dalam arti benar-benar dekat) dinikahi oleh pria lain. Dia bersenang-senang membangun keluarga, mendidik anak, serta mewarnai malam dengan canda dan tawa, sementara aku? Terpanggang tinggal rangka.

Tapi kemudian aku teringat bahwa hidup ini cair. Segalanya dapat berubah kapan saja. Tak ada yang bisa dipaksakan tetap. Yang sendiri, kelak akan memiliki pendamping. Yang hidup, kelak juga akan mati. Konsep hidup selalu seperti itu, tak pernah berubah.

Bayanganku tentang kehidupan dewasa semakin kalut ketika grup-chat yang berisi teman sekolah itu beramai-ramai membicarakan tentang pernikahan dan hal-hal lain yang merujuk ke arah asmara. Aku yang paling disudutkan di sana. Karena perempuan terdekatku dulu tidak hadir dalam acara buka bersama tersebut. Kikuk rangkaian kataku ketika salah seorang teman mengirim foto yang berisi wajahnya sedang tersenyum bersama lelaki lain. Bukan karena cemburu atau merasa kalah, tapi aku merasa…. Entahlah, seperti ada sesuatu yang ganjil. Jika diibaratkan, keganjilan itu tampak seperti benda yang tidak ditempatkan pada posisi aslinya. Rasanya ingin membenarkan, tapi benda itu sudah merasa tepat di sana. Jadi tak perlu ada pergeseran.

Ketakutanku di usia 18 terbukti sekarang. Meski belum pasti, namun sepertinya dia benar-benar akan menikah dengan pria dekatnya itu. Aku ulangi sekali lagi, tidak ada kecemburuan apalagi kegusaran karena kalah. Tidak. Aku hanya merasa ganjil, itu saja.

Belakangan aku sudah melupakannya, dan mencoba berbaur dengan hidup. Usiaku sekarang 20. Masih banyak laut yang harus aku selami, ombak yang harus diterbos, serta batuan es yang harus dibelah. Jika hanya memikirkan perihal asmara, kapan aku bisa membekukan hidup? Kapan aku mendapat perlakuan baik dari semesta?

Tentu saja aku tahu pernikahan dapat mengubah seluruh tatanan hidup yang ada. Tapi bukan berarti kita terpatri dengan keyakinan bahwa dengan pernikahan orang terdekat hidup kita akan selesai. Tidak seperti itu. Hidup tidak hanya memiliki satu garis. Itupun kalau kita jeli.

Bekasi, 25 Juni 2016.

Rabu, 01 Juni 2016

Semoga Ada Lelaki yang Perangainya Sebaik Dia

“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Jika kamu berusaha meluruskannya, niscaya akan patah. Jika kamu terus membiarkannya, kamu dapat bersenang-senang, namun tetap bengkok. Maka berbuat baiklah kamu kepadanya.”

Kalimat di atas adalah salah satu ucapan yang saya kutip dari Hadis Rasulullah. Ketika selesai membacanya, saya membayangkan sebuah fenomena yang sering terjadi belakangan. Tentang kekerasan dalam berumahtangga.

Di masa ini, bukan lagi gelak tawa yang mewarnai ruang keluarga. Tapi jerit dan tangis. Seakan-akan memberi penekanan, bahwa berumahtangga adalah kegiatan rumit yang mengharuskan pelakunya menguras energi dan emosi.

Saya tinggal di lingkungan perkampungan yang tiap-tiap bangunannya saling berhimpitan. Antara satu rumah dan rumah lainnya hanya dibatasi oleh dinding. Singkatnya, satu dinding kita pakai bersama, sebagai penyekat. Di lingkungan seperti ini, suara sekecil apa pun akan terdengar oleh tetangga. Hal ini yang agak membebani penduduknya. Karena mau tidak mau, mereka dituntut untuk tetap tenang.

Salah satu tetangga saya adalah pasangan muda yang baru datang beberapa bulan lalu. Dia membeli rumah yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumah saya. Ketika melihat pertama kali, tampaknya mereka pasangan yang bahagia. Terlebih anak mereka, yang masih balita, terlihat sangat lucu dan menggemaskan. Sempurna sekali, pikir saya dalam hati.

Sampai kemudian, di hari kedua mereka tinggal, sebuah cekcok membenturkan kata demi kata. Tidak henti-hentinya mereka mengeluarkan kata kasar dan tidak pantas. Terlebih suaminya yang, agaknya, sudah terbiasa mengatakan kata seperti itu.

Jika terus-terusan seperti ini, tidak tega juga. Bisa mati dia tertusuk kata-kata tajam!

Pernah suatu waktu istrinya menangis, dia berjalan pelan-pelan keluar pintu, seperti sedang mencari sandaran atau wadah penampung cerita. Sungguh, kasihan sekali dia. Tubuhnya tampak lemah, seperti wanita yang baru ditinggal mati suaminya. Padahal kenyataannya tidak! Justru dia seperti itu karena suaminya belum juga mati!

Kemudian sesaat teringat ucapan Rasulullah tentang tulang rusuk tadi.

Seorang suami, jika berusaha meluruskan istrinya dengan kehendak pribadinya, maka hasilnya akan patah. Namun sebaliknya, jika dia cuek dan tidak berusaha meluruskannya, maka tidak akan terjadi apa-apa. Tetap bengkok.

Rasulullah adalah figur suami yang mendekati kata sempurna. Dalam skala satu sampai sepuluh, kehebatannya sebagai suami berada di angka sembilan koma sembilan. Tidak ada bentakan dalam rumah sederhananya. Tidak ada keluhan dalam hidup serba kurangnya. Dan yang paling penting, selama bertahun-tahun berumahtangga, tak satupun dari istrinya pernah bercerita tentang keburukan Rasul. Masih adakah lelaki sepertinya yang hidup di era modernitas seperti sekarang?

Ada satu riwayat asmara tentang Rasulullah yang diceritakan oleh Aisyah, istri tercintanya. (Saya senang sekali dengan riwayat ini).

Kala itu, Rasulullah sedang marah kepada Aisyah. Kemudian, di tengah marahnya, Rasul mengatakan: “Akfiini ‘ainak!” yang berarti: tutuplah matamu. Kemudian Aisyah cemas karena dimarahi Rasulullah, tubuhnya gemetar. Setelah Aisyah memejamkan kedua matanya, Rasulullah berkata: “Taqarrabii!” (mendekatlah!), lalu Aisyah mendekat dan Rasulullah memeluk tubuh Aisyah erat-erat. “Khumairahku,” kata Rasulullah. “Telah pergi seluruh amarahku setelah memelukmu.”

How sweet!

Saya berani bertaruh, berapa dollar-pun, bahwa di zaman sekarang sulit sekali menjumpai lelaki yang perangainya sebaik Rasulullah. Ada, tapi hanya sedikit. Mungkin tidak lebih dari sepuluh di dunia.

Kenyataan tersebut tergambar dari pasangan muda yang tinggal tak jauh dari rumah saya tadi. Usia awal pernikahan saja sudah seperti itu, bagaimana ketika sudah tua nanti? Kebosanan dan kejenuhan secara perlahan membelit hari-hari mereka.

Melalui tulisan ini, saya mendo’akan seluruh wanita di jagad raya, agar kelak ketika menikah, kamu dipersatukan oleh lelaki yang (paling tidak) mampu meredam emosinya ketika sedang bersama.

Sebab perangai seorang lelaki dapat diukur dari sikap dan caranya bertutur.
Sungguh, percayalah dengan itu.

Bekasi, 1 Juni 2016.

Kamis, 19 Mei 2016

Kamu Mendamaikanku Dengan Bumi

Manusia adalah pelayan bumi yang
Memikul beban-beban alam.
Tanpa berdarah-darah, kita
Tidak akan menghasilkan apa-apa.

Pejuang kemerdekaan tertembak
Satu persatu di hadapan kerabat.
Untuk merdeka, mereka terpaksa
Menyumbangkan kesempatan hidupnya.

Tangisan sendu menyanyikan jerit-jerit
Kehancuran para kekasih yang tertinggal.
Untuk menghapus luka di dadanya, air
Mata dialirkan ke sekujur tubuh.

Bukan lekas sembuh,
Malah terbunuh.

Manisku, lihatlah bagaimana bumi
memperlakukan manusia-manusianya.
Seakan-akan semua kebaikan harus disebrangi
Dengan perahu yang terbuat dari
Kesedihan.

Tapi pertentangan justru hadir ketika
Mataku terpaku pada gerak-gerik tubuhmu.

Kamu mendamaikan kebencianku
Kepada bumi.
Tanpa memberi syarat pada rasaku
Yang perlahan jatuh menumpahi namamu.
Aku cinta kamu, pada setiap pandang yang
Luput dari pandangmu.

Tidak perlu memikul beban apa-apa.
Tidak perlu menyebrangi apa-apa.
Hanya diam saja,
Aku sudah cinta.

Bekasi, 19 Mei 2016.

Sabtu, 14 Mei 2016

Hidup Bukan Nikmat

Bagaimana mungkin manusia percaya
Bahwa hidup adalah nikmat?
Sementara kematian bergerak
Mengintai waktu.
Bagaimana mungkin manusia percaya
Bahwa hidup adalah nikmat?
Sementara celaka bisa
Mengetuk raga
Siapa saja. Di mana saja.
Hidup bukan nikmat, jika takdir
Masih mengikat-ikat.
Hidup bukan nikmat, jika selanjutnya
Manusia bertemu akherat.

RSUD Kota Bekasi, 14 Mei 2016.

Kamis, 12 Mei 2016

Kamu dan Buku

Untuk mencintai buku, aku harus menyentuh
Serta menggali isinya hingga
Berbulan-bulan.
Untuk mencintai kamu, aku tidak
Perlu melakukan apa-apa.
Tidak perlu menggali
Apa-apa.
Sungguh aku lebih cinta kamu
Ketimbang buku.

Bekasi, 2016.

Minggu, 01 Mei 2016

Tanggung Jawab Lelaki Akan Tuturnya

Tadi sore aku lihat seorang gadis muda menangis sesenggukkan di teras rumahnya. Tubuhnya terkulai di atas lantai, tatapannya layu memandang lelaki yang berdiri di hadapannya.

Tidak jauh dari situ, terdapat rumah bertingkat yang sebagian dindingnya terhalang pohon jambu. Aku sembunyi di balik dindingnya, lalu diam-diam memandang mereka berdua.

Tampaknya mereka adalah sepasang kekasih yang sedang berseteru, cekcok. Aku tidak tahu pasti apa penyebabnya. Namun, wajah sang lelaki tampak marah. Dibentak gadisnya itu keras-keras. Berkali-kali, dengan makian bervariasi. “Gak usah merengek! Kamu pikir aku bakal kasihan? Nggak!”

Gadis itu semakin hancur. Terdengar jelas dari jerit tangisnya yang memuncak. Agak terputus-putus.

“Maaf,” katanya, setengah memohon. “Tolong—maafin akuuuuu.” Kalimat itu seperti memberi penekanan bahwa dia sedang memelas.

Jawaban berikutnya tidak sanggup kutangkap dengan jelas. Namun intinya diutarakan dengan bentakkan keras. Mungkin dia juga menyisipkan kata-kata kasar, sebab setelah itu sang gadis berkata, “Kamu kok ngomongnya gitu, sih?” lalu dilanjutkan dengan kalimat: “Kamu kan pacarku.”

Bentakkan demi bentakkan terus menghantam naluri kewanitaannya. Kasihan. Dia sampai terpuruk. Merengek-rengek minta diampuni. Memangnya siapa lelaki itu? Anak raja? Toh tampang dan penampilannya biasa saja; sedikitpun tak ada yang istimewa.

Aku beranjak, lalu memikirkan tentang peristiwa tadi. Sempat termengu beberapa saat. Bertanya dalam hati, mengapa lelaki yang awalnya bilang ‘sayang’ dan setuju untuk mengikat komitmen sering sekali berdusta? Menurutku, perkataan kasar adalah kedustaan yang paling brengsek; kebrengsekan yang paling dusta. Ini mengingatkanku akan perkataan teman dekatku: kualitas seorang pria tergantung pada ucapannya. Juga mengingatkanku dengan perkataan Rasulullah, bahwa sebaik-baiknya lelaki adalah dia yang baik kepada istrinya.

Aku tekankan sekali lagi: kepada istrinya.

Lantas bagaimana dengan mereka yang berlaku kasar kepada pacarnya? Tentu saja terkesan lebih sampah. Lelaki yang tidak sanggup menjaga mulutnya itu sampah!

Kemudian saya teringat pada janji yang pernah saya ucapkan kepada ibu beberapa tahun lalu:

“… Bu, aku punya dua janji yang tidak mungkin aku langgar. Pertama, aku berjanji tidak akan menghisap rokok. Kedua, dan ini mohon ibu ingat, aku berjanji sama ibu – sebagai wanita – bahwa aku tidak akan sampai hati membentak istriku atau mengeluarkan kata-kata tidak perlu. Sungguh, tolong bantu aku mengingat kedua janji itu, Bu.”

Lalu aku terus menyusuri jalan. Berdo’a penuh harap, agar kelak ibu diberi umur panjang, dan dapat melihat anaknya berhasil memenuhi janji.

Bekasi, 1 Mei 2016.

Kamis, 28 April 2016

Kenapa Astaga Lagi?

Aku benci terpuruk. Rasanya seperti dilingkari orang banyak, lalu masing-masing dari mereka menggenggam sebuah batu dan bersiap-siap menghantamku.

Mengerikan.

Aku benci terpuruk.

Aku benci rindu sendirian.

Beringsut aku dalam lamunan masa lalu, sebab rinduku tak pernah sampai telingamu. Maluku menyulitkan. Untuk aku; untuk kamu. Beringsut tubuhku menuju persembunyian: tempat di mana aku menjeda rinduku bersama baris-tumpuk buku; perpustakaan. Namun setiap kali selesai membaca, astaga!

Ingat kamu lagi.
Tanpa berani bilang: rindu.
Memuncak rasa sepi.

Bekasi, 28 April 2016.

Sabtu, 23 April 2016

Lembar Merah Muda dalam Kotak Berhias Pita

Lembar merah muda yang kau
Gores dengan kata bernada manja
Tidak diketikkan;
Tidak dititikkan.

Ingatkah kala kita bahu-membahu
Menjaga rindu?
Di malam kita yang sama-sama
Getir: membayangkan rindu
Lekas dihadiahkan temu.

Aku rindu kamu, manisku.
Aku rindu membaca surat kirimanmu.

Habis sudah tahun-tahun kita
Dulu: ketika suratmu mengetuk
September-ku; dan suratku mengetuk
Januari-mu.

Kita sama-sama selesai:
Aku pada dewasaku; kamu
Pada dewasamu.

Berakhir sudah:
Mengakhir terakhir
Tak perlu diselamatkan; tak
perlu menyelamatkan.

Surat-suratmu tersimpan rapi
Dalam kotak berhias pita.
Kuat ikatannya menyerak tanya:

“Sayang,
Apa kamu sungguh
Bahagia bersamanya?”

Bekasi, 2016.

Kamis, 21 April 2016

Al 'Alaqah Menuju Al 'Iradah

Manisku..
Bagaimana cara menanyakan kabar tanpa
Harus memanggilmu?
Bagaimana cara lampiaskan rindu tanpa
Harus memelukmu?
Sementara teduh miliki kita:
Tanpa pelukan; tanpa sentuhan

Manisku..
Bentangan jalan panjang menyambut
Langkah kita.
Pekatnya gelap goreskan warna langit:
Menghitam. Sulitkan pandangan kita.
Bagaimana cara lintasi jalan tanpa
Harus menggandengmu?
Sementara kita sudah saling cinta:
Sebelum bergandeng tangan; sebelum bersentuhan

Manisku..
Dengarkan aku:
Biar saja mereka bermesraan dengan
Caranya sendiri;
Biar saja mereka bermanjaan dengan
Maunya sendiri.
Kamu tidak perlu iri, sayangku
Sebab tanggung jawab adalah caraku
Memesrakanmu.

Manisku..
Izinkan aku menjadi yang terbaik
Untukmu
Andai aku belum benar: jangan kau tinggalkan.
Perbaiki saja aku.

Bekasi, 21 April 2016.

Kamis, 14 April 2016

Aku: Peniru Kamu, Berharap Temu.

Sosok Kelak menjelma bagi titik cahaya melambai ujung jauh
Ketika Rasa Takut terpaksa duduk terpangku lumut batu
Tersandar lelah dan gelisahnya
Pada teduh pandang pria bersahaja.

Muhammadku,
Seutas Andai bergelayut di lidah Para Pendo’a
Menggerung tersungkur tiap malam sebab ingin jumpa
Guyurkan cerita.

O, Muhammadku,
Aku ini jelmaan Kagum yang terbentur indah perangaimu
Diam-diam meniru
Getar bibir yang rangkai manis tuturmu.

O, Muhammadku,
Hembus angin malam, hembus
Menampar pipiku bagai tanya memaku:
“Mungkinkah aku sampai ke rengkuhmu?”

Dengan apa?
Bagaimana,
Bersama siapa?

Sebayaku bertingkah pongah,
Menentang; melawan.
Dikirimnya hujatan tajam menembus
Dadaku. Mematikan.

Kau yang dihujat.
Aku yang tersayat.

O, Muhammadku,
Bila sayat kepongahan mereka
Mematikanku,
Sudikah kau hadiahkan rengkuhmu?

Aku ingin menggali Islam.
Aku ingin dijemput dalam keadaan Islam.

Di lantai dua sebuah Masjid Besar, 2016.
Dariku, Peniru yang menanti Kelak dan Andai.

Selasa, 05 April 2016

Terbentuknya Kesan, Mengalirnya Rasa

Kita, dan jutaan orang lainnya, menyadari bahwa jatuh cinta adalah proses bertahap yang mengharuskan pelakunya untuk melalui beberapa fase.

Terbentuknya kesan, misalnya.

Kita baru bisa merumuskan perasaan ketika kesan sudah sepenuhnya terbentuk. Tetapi, yang jadi masalah adalah, kesan hanya terbentuk setelah melakukan pertemuan langsung. Bertatap wajah, saling hadap, dan melebur dalam percakapan intim. Tentu hal ini menjadi percuma bagi mereka yang belum pernah bertemu – atau bahkan hanya melakukan sekali pertemuan – untuk memastikan bahwa dirinya sudah benar-benar jatuh cinta atau belum.

Saya pernah jatuh cinta dengan wanita setelah melakukan sekali pertemuan. Hanya sekali, kesan itu dapat terbentuk rapi. Bagai balok yang mengisi celah kosong pada ruangan. Tertumpuk satu demi satu. Tentu banyak sekali pertanyaan yang menyelubungi kepala sebelum akhirnya yakin bahwa ini benar-benar jatuh cinta.

Secepat itu?
Alasannya apa?
Kok bisa?

Pertanyaan itu saling berbeturan di dalam kepala. Menjemukan. Namun, saya tetap yakin, bahwa antara cinta dan waktu tidak pernah memiliki kaitan. Cinta yang sungguh-sungguh tidak terikat waktu. Jadi, yang saya bayangkan saat itu hanya satu: Ini benar jatuh cinta. Terlepas soal rasa, kesan yang tergores amat mengagumkan. Dia tampak seperti gadis sederhana. Dan saya suka sekali gadis sederhana.

Saya adalah tipikal pria yang hatinya mudah direnggut oleh kesan baik. Pesona kesan mampu melebihi fisik. Wanita cantik kalau bodoh, untuk apa? Bagi saya, kesan adalah yang utama. Maka dari itu, satu kali pertemuan rasanya sudah cukup. Pertemuan kedua dan ketiga, kalau tidak diimbangi dengan kebaikan lainnya, saya rasa akan sangat percuma. Hanya akan memendam kebaikan lain yang sudah tersusun rapi.

Cinta adalah rasa yang mengalir melalui tumpukan-tumpukan kesan. Ciptakan kesan baik dipertemuan pertama, namun jangan lupa untuk tetap menjadi diri sendiri. Cinta yang baik memang tak memiliki kaitan waktu, namun terikat oleh komitmen. Maka dari itu, pertemuan selanjutnya harus dilewati dengan baik pula. Salah-salah, kamu hanya akan terbawa rasa yang mengalir. Sebab kesan yang menjadi dinding penghalang arus sudah runtuh dan hancur berserakan.

Wus,
Ternyata rasa memang harus diimbangi dengan kesan ya.

Bekasi, 5 April 2016

Rabu, 09 Maret 2016

Dzarofa

Langkahnya mengayun pelan
Teduh, terpayung awan.
Semburat senyum mengintai malu bagai kilasan
Penantian dari gurat rupawan.

Menangislah denganku di sepertiga malam
Bersama menyelam hingga tenggelam
Dalam kesederhanaan Islam.

Menangislah denganku hingga tersedu
Hingga rasa ragu bertemu malu
Dan rengkuhku redakanmu.

Sayangku,
Menangislah sekeras yang kau mampu.
Aku menunggu di balik pintu,
Sebab tak kuasa menahan rindu
Untuk lantunkan lagi Qur’an bersamamu.

Jogja, 2014.

Kamis, 03 Maret 2016

Laki-laki Pemalu

Aku dan kamu bagai delik
Yang bukan aduan.
Tetap melirik
Walau tak ada keberanian.

Potret malu tertinggal pada jejak kaki
Yang berserak di lantai dekat dinding.
Debu-debu terpatri memaki
Sebab melirik saja tak sebanding dengan bertanding.

Aku suka kamu
Tapi mengumpat malu-malu.
Aku suka kamu
Tapi lidah kelu, membisu.

Ingin rasanya berjabat tangan
Dengan keberanian.
Namun dada terus berdegup
Tak sanggup menutup gugup.

Aku
masih suka kamu.
Aku
Tak mampu melawan malu.

Bekasi, 4 Maret 2016

Jumat, 12 Februari 2016

Lendir Di Mataku

Pagiku selalu sore
Siangku selalu sore
Namun malam
Tetap menjadi malam.

Tidak ada kantuk
Hanya cahaya mengutuk
Menolak masuk
Terhalang lendir di pelupuk.

Oh, hanya sekejap
Mataku gelap
Tak mampu mengerjap
Apalagi menatap.

Ibu menolak setuju
Bahwa lendir adalah guru
Yang mendidik mataku
Untuk terpejam sementara waktu.

Bekasi, 13 Februari 2016.
Dariku, pemilik mata berlendir.

Kamis, 21 Januari 2016

Numeralia

Aku suka sastra; kamu suka matematika.

Aku suka kata; kamu suka angka.

Numeralia.

Ketika kamu duduk menghadap papan tulis dengan rambut berantakan, aku menemukan kecerdasan tanpa tandingan. Bahwa kau sibuk dengan penjabaran, menulis angka dan memisahkannya dengan garis. Manis sekali. Wanita lain tidak memahami sisi keromantisan sebuah angka.

Katamu, persamaan dapat dipecahkan dengan logaritma. Tapi kamu tampil luar biasa ketika berkelit dengannya. Di atas meja, sobekan kertas berhambur. Telapak tanganmu penuh dengan goresan pulpen. Cantik sekali; kamu cantik ketika berdua dengan logaritma.

Numeralia.

Kamu ketus memandang soal kalkulus. Dengan keringat yang berkucur, kau patahkan penjabaran rumit. Notasi seperti makanan basi. Integral seperti latihan berhitung awal.

Numeralia.

Bahwa kau adalah sastra, yang bersemayam di balik angka.

Bekasi, 22 Januari 2016
Dariku, siswa yang tak pernah lulus matematika.

Jumat, 15 Januari 2016

Pesona dalam Sederhana

Tulisan ini bakal random dan lepas dari kaidah penulisan yang baik dan benar. Aku nggak peduli. Karena yang kuingankan hanya menyampaikan perasaanku. Menulis, lalu lega.

Untuk gadisku, hari ini aku membuka kenangan kita. Terus menerus, hingga tenggelam. Aku senang tenggelam dalam kenangan. Karena hanya dalam kenangan, aku mampu menjadi perenang.

Aku menyusuri tahun-tahun kita dulu dan mendapati banyak jejak kaki yang belum terhapus ombak. Aku berenang dengan baik, sampai akhirnya waktu menyadarkanku, bahwa dunia ini sepi. Terlalu banyak orang yang ingin terlihat hebat. Topeng-topeng dikoleksi guna berjaga dari kondisi. Mereka saling tabrak untuk sampai titik puncak.

Namun tidak denganmu, sayang.

Kamu selalu tampil sederhana tanpa takut dihakimi. Kamu biarkan wajahmu tersapu sinar matahari, selagi wanita lain mengutuk panasnya kota ini. Kamu terus berhitung, selagi wanita lain menganggap bahwa matematika tidak lebih dari omong kosong. Kamu, entahlah, selalu menciptakan kutipanmu sendiri—belajar dari kesalahan masa lalu, tanpa harus mengoleksi kutipan orang lain.

Mandiri.

Kamu menolak bantuan orang lain, karena kamu mampu melakukannya sendiri. Dengan kepercayaan, kau patahkan prasangka-prasangka. Kau berdiri di bukit tertinggi, mengangkat tinggi-tinggi tanganmu, dengan wajah yang ditundukkan.

Kau tidak ingin orang lain mengetahui kehebatanmu, bukan?

Teruslah seperti itu; jangan pedulikan orang lain. Mereka hebat dengan usahanya masing-masing; ada yang mengalir, ada juga yang dipaksakan. Biarkan, itu mereka bukan kamu.

Karena kamu,

Tetap memesona dalam balutan sederhana.

Bekasi, 15 Januari 2016
Dariku, lelaki yang lebih senang menulis ketimbang berenang.

Rabu, 06 Januari 2016

Surat Dariku, Untuk Diriku.

Perkenalkan, nama saya Dino, umur 24 tahun, dan berprofesi sebagai tukang kayu di Kalimantan Timur.

Bekerja di Kalimantan, membuat saya jauh dari teman dan keluarga. Hal ini yang menjadi alasan mengapa saya sering merenung dan membayangkan sosok teman saya di ibukota.

Namanya Wiki, tipikal pria sederhana yang selalu mengenakan kacamata.

Saat ini, dia sedang melanjutkan studinya di jurusan ilmu komunikasi, agak melenceng dari mimpinya sejak kecil. Bukan agak, tapi sangat. Namun dia tetap menjalaninya, menikmati dan merasa semua ini baik-baik saja.

Sabtu sore, Wiki mengirim surat dan bercerita banyak tentang seorang wanita. Dia pemalu, sehingga hanya berani menceritakan pengalaman ini melalui surat, itupun hanya kepada teman terdekatnya.

Mau tau isi suratnya?

Begini..

---------

Bekasi, 6 Januari 2016.

Untuk sahabat yang hanya hidup di kepalaku.

Dino.

Assalamualaikum, No.

Gimana keadaanmu di sana? Kemarin aku dapet kabar kalau kamu menetap di Kalimantan Timur, ya? Jauh sekali. Semoga ada orang baik yang senantiasa memperlakukanmu dengan baik.

Karena kebaikan yang bertemu kebaikan lain akan menghasilkan hal-hal baik.

Oh iya, No. Ngomong-ngomong, aku mau cerita nih.

Jadi, aku—hm, gimana cara jelasinnya ya.

Begini lho, No.

Baru-baru ini, aku sedang mengamati dan mengagumi seseorang. Dia cantik—yah, aku nggak tau menurutmu gimana—tapi dia bener-bener cantik. Dia gadis yang hatinya terpaku pada islam. Caranya berpakaian, bertutur, berjalan, memberiku keyakinan pada pesona dalam sikapnya.

Dia cantik dalam balutan islam.

Seperti pepatah Arab yang berbunyi Hubbu kassyay a yu’mii wayutsimmu. Cintamu kepada sesuatu, menjadikanmu buta dan tuli.

Tentu dia mampu membuatku buta dan tuli, No. Buta dalam keindahan; tuli dalam titik kebaikan. Bahwa aku tak mampu memandangnya dari dekat. Tak mampu, karena kepatuhanku pada islam.

Dino, kau pernah melihat bagaimana remaja saling bergandengan tangan dengan kekasihnya? Bersama-sama pergi ke tempat wisata dan saling berpandangan? Aku tak mampu seperti itu, No. Gadis yang kukagumi tidak memandang cinta semurah itu. Bahkan tanpa menyentuhnya, bila benar-benar cinta, romansa mampu tumbuh melalui do’a.

Sahabatku, kau sedang berada di pulau jauh. Kalimantan Timur. Jelas suaramu tak akan mampu kudengar. Bahkan sekeras apapun kau teriak, gaungannya tak mampu kutangkap. Dino, kumohon, kirimkan do’a dari pulau seberang. Kirimkan dalam ketulusan seorang kawan. Tentang rasaku padanya, semoga dapat diikat dengan tali keislaman.

Dia adalah gadis yang baik.

Jika aku belum baik, semoga dia mampu memperbaiki.

Do’akan, agar kelak kami mampu menangis bersama; meneteskan air mata di atas lembaran Qur’an. Bahwa kami hanya hamba, yang ditakdirkan untuk ditemukan, bukan menemukan.

Dino, sahabatku yang baik hati, suatu hari nanti kau juga akan merasakannya—jatuh cinta kepada gadis yang membawamu pada hal baik. Dan bila saat itu tiba, tulis saja sebuah surat. Tulis sebanyak-banyaknya. Hingga kau lelah. Lalu kirimkan. Bahwa kita adalah orang yang sama, dan kau tumbuh dalam imajinasiku saja.

Terima kasih telah membaca ceritaku, No. Kalau kami benar-benar bersanding; menjadi pasangan yang saling melengkapi dan dilengkapi, izinkan aku untuk mengenalkannya padamu.

Seorang gadis, yang namanya mampu kau jumpai di dalam Qur’an.

Salam,

Sahabatmu yang tinggal di Bekasi,

Wiki.

-----

Aku melipat surat yang Wiki kirimkan. Betapa aku sangat menyukai cara dia mengagumi wanita. Suci dan mampu menjaga fitrah-nya.

Qur’an adalah lembar-lembar pertimbangan, begitu katanya. Sebab seorang gadis, yang rela menukar waktu kosongnya untuk membaca Qur’an, akan rela menukar waktu-waktu lainnya untuk dihabiskan berdua.

Entah apa, tapi itu yang dia katakan.

Suatu hari nanti, jika aku pulang ke Bekasi dan bertemu Wiki, aku akan memeluknya dan berkata,

“Kau benar, Allah telah menyebut nama gadis itu—entah berapa kali—di dalam Qur’an.”

Senin, 04 Januari 2016

Januari ini Milikmu

Kudengar sebentar lagi usiamu bertambah. Cepat sekali. Padahal baru kemarin aku hadir untuk merayakan ulang tahunmu yang ke-18. Waktu berlalu dengan cepat. Lebih cepat dari yang kubayangkan sebelumnya. Dan kuharap kau masih ingat bahwa ada lelaki yang bermain gitar di bawah hujan. Bernyanyi. Dan kau mengira bahwa lelaki itu adalah pengamen.

Kau ingat?

Ibu menyuruhmu membawakanku uang. Memang, peduli kepada pengamen itu perlu. Tapi saat itu, aku bukan pengamen. Meski sebenarnya, kondisi dan penampilanku kala itu benar menyerupai pengamen.

Aku masuk ke dalam rumahmu, mencoba memberi kejutan dengan membawakanmu kue buatanku. “Tadi hujan deras,” ucapku dalam hati. “Pasti kuenya rusak.”

Aku membuka kotak kue. Sangat hati-hati hingga kau harus menunggunya lebih lama.

“Kuenya agak rusak,” kataku saat itu. “Maaf ya.”

Kamu tidak kecewa, apalagi marah. Aku suka caramu menahan tawa ketika menyadari ada hal ganjil di kue itu. “Kamu lupa umurku?”

“Kamu,” kataku. “18 tahun, kan?”

“Tapi lilin yang kamu taruh gak bilang gitu.”

Aku mengangkat kotak kue, mengeluarkan isinya sebelum aku pindahkan ke piring berukuran besar. “Oh iya,” kataku, menyadari sesuatu. “Kok 81 tahun sih?”

“Emang aku keliatan setua itu ya?”

Tidak, kamu tidak terlihat tua. sama sekali tidak. aku hanya keliru meletakkan lilin itu, keliru tidak berarti lupa, kan? Kalau aku tidak keliru, mungkin aku tidak akan melihat gelak tawamu. Semesta kadang menarik, mampu mengubah peristiwa dan menempatkannya pada ruang dan keadaan yang lebih baik.

Mungkin kau gagal mengingat peristiwa ini. Mungkin saja. Karena kebaikan ini telah digantikan oleh kebaikan baru yang lebih tinggi; yang lebih membuatmu bahagia. Aku tak ingin diingat, tapi juga tak ingin dilupa. Kau dalam genggaman pelindung baru. Dalam usia yang lebih dewasa, kau dalam rengkuh, kasih, dan sayangnya. Bahwa kau layak mendapat kebahagiaan ini. tentang usiamu, ulang tahunmu, dan kejutan yang dia berikan.

Maukah kau menceritakannya padaku?

Atau menulis sebuah surat dan kau titipkan pada kawanmu?

Jika kau menolaknya, tak apa. Aku tidak memaksa. Usiamu sudah dewasa, kau tau langkah apa yang harus dipilih.

Tentang ulang tahunmu, aku mendoakan yang terbaik untuk kalian. Semoga kebaikan senantiasa menyapa. Dari pagi hingga malam dan dari malam hingga pagi, warna-warni kebahagiaan melebur dalam satu rasa. Kelak, bila kau benar-benar lupa denganku, kue itu akan mengingatkanmu, bahwa aku adalah lelaki pertama yang memberi ucapan ‘selamat ulang tahun ke-81’ padamu, di usia kita yang baru menginjak 18 tahun.

Bekasi, 5 Januari 2016.
Dariku, lelaki yang kau kira pengamen.