Minggu, 06 Desember 2015

Untuk yang Sibuk Menunggu

Saya sedang bersama sepupu ketika menulis ini. Dia adalah gadis baik yang hatinya sering dihantam oleh lelaki terdekatnya. Saya bertanya mengapa ini terjadi, dan dia menjawab: tidak semua kata mengapa harus dijawab dengan karena.

Inikah yang disebut konsep percintaan? Di mana orang baik sulit sekali menemukan kebaikan lain.

Sepupu saya belum mau menjawabnya, dia malah bertanya, “Bagaimana deskripsi wanita idamanmu?”

“Apakah pertanyaan ini mengacu ke arah fisik?” kataku. “Apakah di usiaku sekarang, fisik masih perlu dipertimbangkan?”

“Tidak juga,” katanya, sambil memilin sedotan di bibirnya. “Tapi bohong bila tidak.”

“Aku suka wanita tanpa make-up,” aku tidak tau, apakah ini dapat dikategorikan sebagai fisik atau tidak. Tapi, hanya ini kalimat yang mampu kutemukan. “Aku suka wanita yang matanya cerah, senyumnya ikhlas, dan, yah, ini terdengar aneh, tapi aku suka wanita yang wajahnya berminyak. Dia terlihat—“

“Sederhana?”

“Tentu saja.”

“Kamu suka sosok wanita sederhana?”

“Sederhana tapi cerdas,” kataku. “Sulit sekali menemukan sosok seperti ini.”

“Perkara cantik?”

“Cantik saja?” kataku, “waria Thailand juga mampu.”

Sepupu saya tak sanggup menahan tawa, dia mencoba menutupinya dengan telapak tangan. Tiga detik, lalu dia kembali bertanya. “Menurutmu, cerdas itu apa?”

“Makna cerdas itu luas sekali, mbak.” Jawabku. “Wanita yang mampu memposisikan dirinya di antara pilihan sulit adalah wanita cerdas. Dia yang mampu bercerita tentang hal kesukaannya hingga matanya berbinar, seakan berusaha untuk meyakinkanku, itu juga cerdas. Dia yang tau banyak hal, itu juga cerdas. Dia yang membaca banyak buku, itu juga cerdas. Atau sederhananya, dia yang mampu bersikap baik dan santun, itu juga cerdas. Aku pengagum wanita jenis ini, mbak. Sulit sekali betemu dengan wanita ini. Namun, ketika aku berhasil menemukannya, aku malu.”

“Minder?”

“Minder muncul melalui akal, malu muncul melalui rasa.”

“Apa bedanya?”

“Menurutmu, apa?”

Hujan mulai reda, aku dan sepupu terpaksa meninggalkan meja ini. Namun, sebelum kami benar-benar beranjak, dia memberiku satu pertanyaan pamungkas.

“Han,” katanya. “Apakah wanita yang kau dambakan benar ada? Jika iya, bagaimana caramu menjemputnya?”

Aku menatap matanya tajam-tajam, seakan memberi penekanan tentang kalimat yang ingin kusampaikan.

“Dengan cara memantaskan diri, mbak,” jawabku. “Itu saja.”

Bekasi, Di Atas Bangunan Berlantai Lima, 7 Desember 2015.
Dariku, penunggu yang sedang menunggu.