Minggu, 06 Desember 2015

Untuk yang Sibuk Menunggu

Saya sedang bersama sepupu ketika menulis ini. Dia adalah gadis baik yang hatinya sering dihantam oleh lelaki terdekatnya. Saya bertanya mengapa ini terjadi, dan dia menjawab: tidak semua kata mengapa harus dijawab dengan karena.

Inikah yang disebut konsep percintaan? Di mana orang baik sulit sekali menemukan kebaikan lain.

Sepupu saya belum mau menjawabnya, dia malah bertanya, “Bagaimana deskripsi wanita idamanmu?”

“Apakah pertanyaan ini mengacu ke arah fisik?” kataku. “Apakah di usiaku sekarang, fisik masih perlu dipertimbangkan?”

“Tidak juga,” katanya, sambil memilin sedotan di bibirnya. “Tapi bohong bila tidak.”

“Aku suka wanita tanpa make-up,” aku tidak tau, apakah ini dapat dikategorikan sebagai fisik atau tidak. Tapi, hanya ini kalimat yang mampu kutemukan. “Aku suka wanita yang matanya cerah, senyumnya ikhlas, dan, yah, ini terdengar aneh, tapi aku suka wanita yang wajahnya berminyak. Dia terlihat—“

“Sederhana?”

“Tentu saja.”

“Kamu suka sosok wanita sederhana?”

“Sederhana tapi cerdas,” kataku. “Sulit sekali menemukan sosok seperti ini.”

“Perkara cantik?”

“Cantik saja?” kataku, “waria Thailand juga mampu.”

Sepupu saya tak sanggup menahan tawa, dia mencoba menutupinya dengan telapak tangan. Tiga detik, lalu dia kembali bertanya. “Menurutmu, cerdas itu apa?”

“Makna cerdas itu luas sekali, mbak.” Jawabku. “Wanita yang mampu memposisikan dirinya di antara pilihan sulit adalah wanita cerdas. Dia yang mampu bercerita tentang hal kesukaannya hingga matanya berbinar, seakan berusaha untuk meyakinkanku, itu juga cerdas. Dia yang tau banyak hal, itu juga cerdas. Dia yang membaca banyak buku, itu juga cerdas. Atau sederhananya, dia yang mampu bersikap baik dan santun, itu juga cerdas. Aku pengagum wanita jenis ini, mbak. Sulit sekali betemu dengan wanita ini. Namun, ketika aku berhasil menemukannya, aku malu.”

“Minder?”

“Minder muncul melalui akal, malu muncul melalui rasa.”

“Apa bedanya?”

“Menurutmu, apa?”

Hujan mulai reda, aku dan sepupu terpaksa meninggalkan meja ini. Namun, sebelum kami benar-benar beranjak, dia memberiku satu pertanyaan pamungkas.

“Han,” katanya. “Apakah wanita yang kau dambakan benar ada? Jika iya, bagaimana caramu menjemputnya?”

Aku menatap matanya tajam-tajam, seakan memberi penekanan tentang kalimat yang ingin kusampaikan.

“Dengan cara memantaskan diri, mbak,” jawabku. “Itu saja.”

Bekasi, Di Atas Bangunan Berlantai Lima, 7 Desember 2015.
Dariku, penunggu yang sedang menunggu.

Selasa, 10 November 2015

Ah, Brengsek

Seorang gadis meracau di tempat umum dengan kening yang dikerutkan. Mengeluh tentang lelakinya. Mengeluh tentang kisah cintanya. Kepalanya diaduk oleh tangan-tangan sahabatnya.

“Kenapa sih, cowok gue begitu?”

Perhatikan, berapa banyak lelaki yang berkamuflase di depan wanita? Seratus, seribu, sejuta? Jelas lebih dari itu. Di depan teman dan wanitanya, mereka tampil dengan balutan berbeda. Saat di samping wanita, perkataan kasar yang melayang-layang mendadak terhempas oleh angin. Mereka mampu berubah dalam hitungan detik.

Wanita itu, masih meracau di depan sahabatnya.

Tidakkah wanita sadar, bahwa lelaki terlahir sebagai bajingan sejati? Dengan bakat berbohongnya, dia menjanjikanmu masa depan cemerlang. Semangatnya seolah nyata, hingga kutipan Steve Jobs seakan tak mampu menandinginya. Semangatnya yang palsu, berhasil merengkuh hatimu.

Tapi lihat, lelaki yang menjanjikan masa depan itu malas berbuat apa-apa. Kasurnya yang empuk tak pernah gagal menggodanya. Dari pagi hingga malam, ketika ia mencoba meyakinkanmu tentang masa depan, kasur itu selalu bersamanya.

Brengsek, bukan? Pria dengan masa depan cemerlang, tidak pernah berbuat seperti itu.

Namun apa kenyataannya? Wanita lain mudah luluh. Mereka bersembunyi di balik parasnya yang elok. Dengan dalih rasa sepi, mereka menerima cintanya. Menyambut kebrengsekan yang belum tampak. Kemudian jari mereka saling bertautan, mengucap kata rindu, dan berujung pada tamparan di pipi wanita.

Tidakkah kebodohanmu itu perlu dipertanyakan, wanita? Kau berkata semua lelaki itu sama, kau tampil dengan busana terbuka—seakan menyajikan hiburan bagi para lelaki. Namun sadar atau tidak, kau akan terus diperlakukan dengan murah. Bahkan rahim milikmu, akan mereka anggap semurah itu. Mereka rela memertaruhkan harga diri keluarga, demi tidur seranjang denganmu.

Kenapa lelaki selalu brengsek dan wanita selalu bodoh?

Aku melihat banyak sekali lelaki yang melingkari tangannya di lengan wanita. baik memang, sampai-sampai aku iri. Tapi bagaimana dengan jemari sebelah kanannya? Ia memainkan sebatang rokok dengan asap yang mengepul di udara. Perbincangan mereka diwarnai dengan asap. Bukan perbincangan penting menurutku. Pasangan seperti mereka, hanya senang membahas seks, atau hiburan-hiburan malam yang menurutnya memberi ketenangan.

Tidakkah hatimu mudah luluh kepada lelaki yang memakai jaket kulit dan mengendari motor besar dengan knalpot yang menggerung-gerung? Kau berteriak di hadapan teman-temanmu, memuji ketampanannya, dan berdoa untuk tetap didekatkan.

Kau tau, Tuhan tidak senang mendengar doa-mu. Bukan karena Dia tidak sayang, tapi Dia tidak ingin kau terjebak pada cinta yang salah.

Keesokan paginya, kau duduk di jok belakang motor tadi. Melingkari kedua tanganmu di badan si pria. Dari pagi hingga sore, kalian bertukar kalimat mesra. Kau jatuh terlalu dalam, hingga dasar, dan memberi keyakinan bahwa ini memang cinta. Tapi bagaimana dengan jam malamnya? Ah, tentu saja, dia sedang berpelukan dengan gadis lain, sambil berpikir, kira-kira kalimat mesra apa yang akan dia ucapkan padamu besok.

Oh, semesta, kenapa lelaki selalu brengsek dan wanita bangga dengan kebodohannya?

Lelaki yang bertanggung jawab selalu diasingkan. Dibuang dan diludahi oleh wanita-wanita cantik. Namun dia, kuingatkan kepadamu, namun dia, tidak butuh wanita cantik. Maksudku, mungkin saja kecantikanmu hanya beralas bedak, lipstik, atau pensil alis. Namun di luar sana, banyak wanita-wanita yang tidak berorientasi ke arah sana. Wanita-wanita cerdas, tentu saja. Karena peralatan makeup-mu hanya berhasil menutupi kekurangan fisikmu, bukan moralmu.

Untuk wanita, yang selalu dibohongi lelaki, pukullah kepalamu dengan kepalan tangan. Agar kamu sadar, jika cinta bukan berawal dari kalimat, “Tampan sekali dia.” Tapi dari kalimat-kalimat lain, yang tak berani kau ucapkan dengan bibir.

Cinta identik dengan rasa malu.

Dan bajingan-bajingan di luar sana, aku berani bertaruh, tidak sedikit pun memiliki rasa malu.

Ah, sial. Apa yang baru saja kautulis, Farhan?

Beristirahatlah. Kau lelah. Jangan meracau. Takutnya, wanita yang membaca ini, akan benci denganmu.

Bekasi, 11 November 2015
Dariku, yang bingung menulis apa.

Sabtu, 31 Oktober 2015

Salamku untuk Lelakimu

Usiaku 13 ketika bertemu dengannya. Dalam usia itu, aku senang mengamati hal-hal yang berhubungan dengan hiburan. Aku senang melihat layangan, aku senang melihat sepeda BMX, aku senang melihat otopet, dan aku senang melihat temanku datang membawa sebuah kotak musik.

Aku bertemu dengannya ketika kami sama-sama duduk di bangku SMP. Dia adalah murid yang cemerlang, guru-guru mengagumi perangainya. Dan aku, mengagumi segala pada dirinya.

Kami beranjak dewasa di sekolah yang sama, ketika duduk di bangku kelas tiga, pesonanya semakin dalam. Aku berbenah diri dan bercerita pada teman semejaku tentang betapa cantiknya dirimu hari itu.

Suatu pagi, aku bertemu denganmu dengan sepeda yang kau pacu dengan cepat. Kamu berbelok dengan tergesa-gesa hingga hampir menabrak bebatuan besar yang terletak di persimpangan jalan komplek. Aku membuntutimu dari belakang. Melihat dengan jelas, betapa indahnya rambutmu berkibar diterpa angin. Di kejauhan, aku terus memacu sepeda hitamku dan memisahkan diri di tikungan akhir menuju sekolah, karena malu jika bertemu kamu di pelataran parkir yang sama.

Siangnya, aku selalu duduk di kursi belakang sepedamu, membayangkan, jika pada sore hari, aku duduk di sepeda ini, bersamamu, melintasi jalan-jalan bebatuan dan berakhir dengan was-was karena tersesat di tempat asing.

Kamu cantik sekali dengan sepeda itu. Wanita lain di luar sana, pasti enggan menukar keringatnya dengan goesan sepeda menuju sekolah.
Masih adakah gadis sederhana sepertimu?

Tentu ada, tapi langka.

Aku ingat bagaimana perasaanku ketika melukis di ruang kelas. Kamu berada dua jengkal di belakangku. Sangat dekat, tapi tidak menyulut dukungan untukku. Kamu sibuk dengan handphone-mu, kamu sibuk dengan benda canggih itu, kamu sibuk, sibuk, sibuk, dan terus sibuk. Sampai lupa, jika di hadapanmu, ada anak lelaki yang hatinya sedang berdebar penuh kegelisahan.

Esok lusanya, aku mendapat kabar jika sibukmu ternyata untukku. Aku melihatnya langsung. Di  galeri handphone-mu, ada fotoku sedang melukis sebuah tribal dan fauna umum. Kamu memotret-ku, memotret dalam arti harfiah, karena yang kau potret hanya aku, tidak dengan lukisanku.

Buruk sekali laki-laki yang kau potret. Dia mengenakan kaos berwarna hitam yang sedikit longgar, kulitnya hitam, rambutnya dibiarkan berantakan, dan cat yang dia pakai untuk melukis tergores di pipi kiri dan kanannya.

“Kamu motret aku, ya?”

Itu yang kutanyakan padamu saat itu, dan kau berusaha menutupi rasa malumu dengan menyembunyikan handphone-mu ke dalam saku baju.

“Nggak kok.” Kau menghela napas panjang dan merunduk. Rambut indahmu menutupi sebagian wajahmu yang tampak memerah. “Percaya deh, aku nggak motret apa-apa.”

Kata ‘apa-apa’ hanya merujuk pada benda. Jika gadis itu benar tidak memotretku, aku yakin, dia pasti lebih memilih kata ‘siapa-siapa’ ketimbang ‘apa-apa’.

Tapi tidak masalah, kau terlihat cantik ketika berbohong.

….

Tujuh tahun berlalu, kau sudah lupa dengan pria lusuh yang kau potret saat melukis. Sekarang kau berdiri bersama pria gagah yang menjanjikan masa depan. Pria yang memiliki pandangan dan sikap meyakinkan. Tetaplah di sampingnya, cemburuku tak akan mewakili kegembiraanmu. Bersandinglah, tetap menjadi wanita yang baik.

Titip salamku untuk lelakimu. Namun jangan biarkan dia tau kedekatan kita dulu, karena kalimatmu akan menyakiti hatinya. Percayalah, aku tidak mungkin tega melihat pemandangan itu.

Gadis manis, jika suatu saat nanti kamu menjadi seorang istri dan hidup dalam kemewahan, jangan lupakan sepedamu. Aku mengenalmu melalui kesederhanaan—melalui cara-cara lucu yang kau curahkan tiap paginya. Tiap kayuhan sepedamu. Tiap kibasan rambut indahmu. Tiap kucuran keringatmu. Tiap semangat belajarmu.

Semuanya manis.

Itu yang membuatmu beda.

Itu, yang membuatku jatuh cinta.

Bekasi, 1 November 2015.
Dariku, teman masa mudamu.

Jumat, 23 Oktober 2015

Rindu Mendengar Ucapan Rindu

Orang bilang, rindu cuma bisa diobati dengan bertemu. Aku percaya? Tentu saja iya—jika kerinduan hanya dibatasi oleh jarak antar fisik.

Jarak antar fisik bisa kita tempuh dengan jenis kendaraan apa pun. Semudah itu untuk bertemu; semudah itu untuk memeluknya secara langsung.

Tapi, pernahkah terlintas di pikiranmu, bahwa rindu yang dibatasi oleh hak adalah jenis rindu paling dahsyat yang pernah ada?

Kita bukan siapa-siapa. kita bukan orang yang dia kenal. Kita, hanya satu, dari ratusan teman bermainnya. Tapi apa yang dia tau soal kita? Apa yang dia tau soal jam malam kita? Atau, apakah dia tau, kalimat rindu yang ingin kita sampaikan masih menunggu antrian kalimat-kalimat lain yang lebih kuat?

Kita hanya dipaksa rindu oleh orang yang layak kita rindukan.

Kita hanya dipaksa rindu oleh orang yang tidak pernah kita rindukan.

Buruknya, kita hanya boleh rindu kepada mereka yang sudah menyampaikannya lebih dulu.

Aku kuat, sayang. Aku kuat ketika kalimat rinduku tak pernah kau balas. Aku kuat, ketika kau mendengar kalimat rinduku, namun kau mengalihkannya kepada lelakimu. Aku kuat, maksudku, aku mencoba kuat, demi menyampaikan rasa rinduku yang tak pernah kau hiraukan.

Semuanya terlampau sering. Kerinduanku sudah meracau—mencapai titik di mana mengatakannya saja bosan. Karena tak pernah sekali pun aku tidak rindu denganmu.

Sayangku, jika suatu hari nanti kau rindu, katakan saja pada lelakimu. Tidak apa-apa, kau bisa membayangkan jika dia adalah aku. Katakan sesuka hatimu. Katakan dengan kesungguhan. Katakan seperti apa yang ingin kukatakan. Perkara aku, kau tak perlu memikirkan. Aku adalah lelaki yang tak berhak mendengar ucapan rindumu.

Sampai kapan pun, tak akan pernah.

Bekasi, 24 Oktober 2015.
Dariku, pria yang rindu mendengar ucapan rindu.

Kamis, 27 Agustus 2015

Aku Butuh Wadah?

Semua orang pernah bicara, bertutur, dan bercerita, namun tak berkata apa-apa.

Suatu sore, di pelataran rumah, aku membayangkan tentang kesendirianku. Tentang dulangan semangat yang kulakukan sendiri. Padahal, di luar sana, banyak sekali pemuda yang menang karena dorongan sosok istimewa—dorongan wanita yang dia cinta.

Pernahkah kamu membayangkan, sebentar saja, tentang titik pencapaianmu? Kamu melakukan sebuah resolusi, kemudian berhasil mencentang satu demi satu wacana hidupmu. Namun ketika semua wacana berhasil kamu capai, kamu akan merasa jika semua itu tak berarti apa-apa. Sekali lagi, kutanyakan, pernahkah?

Pada titik itu, keberhasilanmu sebenarnya sudah baik. Tapi ada satu hal yang mungkin kurang bagimu—satu hal yang belum kamu miliki. Yaitu dia, sosok yang mencintaimu.

Bayangkan jika kamu memiliki pendamping—atau biasa disebut pacar, kekasih, atau apalah, semua pencapaianmu pasti akan memiliki tujuan. Akan ada deadline di sana. Karena, mau nggak mau, kamu harus mencapai titik suksesmu sebelum kalian menikah. Dan ketika semua itu sudah tercapai, maka di situlah letak keberhasilanmu berada.

Tapi, pernahkah kamu membayangkan jika sebenarnya kamu nggak butuh sosok pendamping, lalu berpikir jika selama ini keluh kesahmu hanya butuh wadah?

Kamu memiliki tumpukan cerita dan berusaha untuk menumpahkannya pada seseorang. Namun kebanyakan dari mereka menghindar karena tidak memiliki wadah atau tempat untuk menampung cerita-ceritamu.

Kita nggak butuh pacar, tapi keluh kesah kita butuh wadah.

Kita nggak butuh pacar, tapi isi kepala kita terlalu penuh untuk disimpan sendiri.

Kita nggak butuh pacar, tapi pulpen kita butuh lembaran kertas.

Detik ini, timbul satu pertanyaan sulit yang semesta hadiahkan untuk diriku.

‘Han, mulai sekarang kamu butuh wadah, kan?’

Bekasi, 28 Agustus 2015
Dariku, lelaki yang butuh wadah terbaik.

Rabu, 19 Agustus 2015

Gadis Sederhana

Seorang bangsawan rela membayar ratusan juta demi tidur di kamar hotel Manhattan.

Sekumpulan lainnya menempuh ribuan kilo, ke Alaska, demi tidur di atas gundukan salju dan di bawah kilauan bintang.

Tapi aku hanya ingin tidur di pundakmu, sayangku. Semalaman, sampe bosan.
..

Warga Skotlandia berbondong-bondong menghadiri Festival Edinburgh Fringe, demi melihat komedian idolanya tampil.

Sama halnya dengan warga Jerman yang berkumpul di pelataran bar demi menghadiri festival Oktoberfest.

Tapi aku hanya ingin duduk di sampingmu, manisku. Sambil menyaksikan program tivi yang kamu suka.
..

Teman dekatku berkata jika Alain Ducasse adalah tempat makan terbaik di semenanjung Eropa.

Sedangkan pengamat kuliner mengunjungi Gordon Ramsay London untuk mencicipi domba cornish yang terkenal akan lezatnya.

Tapi aku hanya ingin makanan buatanmu, cantikku. Bersama-sama, saling suap dan menatap.
..

Aku selalu menghargai kesederhanaanmu, gadisku.

Jika kamu tidur di atas bantal, aku akan tidur di pangkuanmu.

Jika kamu melahap sebatang es krim, aku akan menjilat sisanya di bibirmu.

Jika kamu ingin datang ke sebuah konser, aku akan bernyanyi di hadapanmu. Dengan suara pas-pasan dan petikan gitar tanpa nada.
..

Tetaplah menjadi gadis yang sederhana.

Yang mengayuh sepedanya dengan kuat.

Yang keringatnya mengucur dengan deras.

Yang mengenakan pakaian tanpa merk.

Yang menangis saat merasa buntu.

Yang lebih senang membaca ketimbang belanja.

Yang selalu berkata, “Nabung, bukan untuk kamu. Tapi untuk kita.”

Bekasi, 20 Agustus 2015
Dariku, pria yang sedang menabung demi ‘kita’.

Kamis, 06 Agustus 2015

Bermanjaan di Dapur

Pernah, suatu ketika, ada seorang lelaki yang memelukmu di ruang dapur. Dan ketika peralatan masakmu terjatuh dan berserak di atas lantai, lelaki itu meraihnya dengan satu tangan—karena satu tangan lainnya masih setia memelukmu, erat.

Suatu ketika, ada seorang lelaki yang menyusun kartu UNO menjadi tumpukan tertinggi. Kemudian dia tersenyum dan berkata jika permainan itu tampak membosankan tanpa hadirmu di hadapnya.

Suatu ketika, ada seorang lelaki yang menulis tahapan wacana hidup hingga satu dekade ke depan. Dari tiga puluh garis rencana, namamu dia tulis dalam dua puluh sembilan garis.

Suatu ketika, ada seorang lelaki yang telat berangkat kuliah, namun dia masih menyempatkan diri untuk sembahyang duha dan menyebut namamu dalam do’a—hingga akhirnya dia gagal berangkat karena terlalu telat.

Suatu ketika, ada seorang lelaki yang menuju rumahmu tanpa kacamata, malam hari, dan buta jalan. Di persimpangan jalan rumahmu, dia salah mengambil arus dan tersesat hingga pagi datang. Namun, ketika ditanya kenapa lelaki itu tidak jadi hadir, dia menjawab: Karena aku malu bertemu ibumu.

Suatu ketika, ada seorang lelaki yang rela membolos demi mencari uang untuk membelikanmu hadiah. Dia berhasil membeli hadiah itu, namun dia gagal menyerahkannya padamu.

Suatu ketika, ada seorang lelaki yang menulis ini pada malam hari. Menatap sebuah monitor dengan mata berkaca-kaca. Tangan kanannya digunakan untuk mengetik dan tangan kirinya untuk menyeka mata.

Suatu ketika,
ada seorang lelaki,
yang berusaha menemukanmu,
melalui kalimat sederhana ini.

Lalu bertanya,

“Gadisku, masih bolehkah aku memelukmu di ruang dapur?”

Bekasi, 07 Agustus 2015
Dariku, lelaki yang senang bermanjaan di ruang dapur.

Sabtu, 01 Agustus 2015

Sahabat dalam Diriku

Nama lengkapnya Wiki Flixiandino, namun akrab dipanggil Wiki.

Dia hanya seorang pria berusia 19 tahun yang lebih mencintai buku-bukunya ketimbang orang yang ada di sekitarnya.

Hidupnya sangat jauh dari eufemisme publik, karena menurutnya, eufemisme adalah kemunafikan para manusia yang dikemas dalam kemasan baru.

Dia sederhana dan merasa nyaman dengan posisinya.

Dia selalu bangun pukul tiga pagi dan memandang dirinya di depan cermin, berkhayal, apakah kelak di masa depan para kaum priayi memiliki wajah seperti ini?

Atau, mungkinkah saat keluarganya mengalami krisis, wajah seperti ini dapat meyakinkan sebuah instansi untuk merengkuhnya menjadi pemimpin sebuah organisasi?

Persetan,
pemimpin tidak tumbuh dari golongan introvert.

Mereka, para introvert, hanya membangun masa depannya di dalam kepala. Membangun semua konsep hebatnya di balik imajinasi.

Inovasi mereka memang nomer satu, tapi opini publik masih percaya, jika terang yang malu akan kalah saat bertemu gelap yang berani.

Ekstrovert memiliki ide yang terbatas, namun berani mengembangkannya.

Sedangkan introvert?

Selalu berjalan pada garis tubuhnya sendiri.
Berputar-putar di dalam ruang lama.
Dan terjebak pada pencurian ide masa depan.

Tapi aku percaya pada Wiki. Dia seorang inovator yang dapat berkembang. Seorang visioner yang dapat menyusun bongkahan bata kecil menjadi istana super megah. Dia, dan mimpinya, akan berkembang menjadi sosok yang kuat di tahun yang akan datang.

Seorang teman pernah berkata pada Wiki untuk merubah gaya penampilannya.

Kau lusuh, begitu kata temannya.

Tapi Wiki tidak peduli. Badannya yang sedikit kurus dibalut dengan kaos oblong dan celana jeans hitam yang lebih dari sebulan tidak bertemu butiran detergen. Dia berjalan menembus kerumunan, seakan-akan suatu saat nanti gaya berpakaiannya akan ditiru oleh seluruh mahasiswa di jagad raya.

Kata lusuh memang sudah melekat pada diri Wiki sejak duduk di bangku sekolah. Keluarganya tidak punya cukup banyak uang untuk membelikannya baju baru. Bahkan, beberapa pakaiannya adalah hasil hibahan dari sepupunya yang memiliki ekonomi lebih baik.

“Memang kau tidak malu?”

Kalimat itu selalu terucap oleh ibu dan ayahnya. Namun, lihat, apa yang dia jawab.

“Aku cuma malu kalau bodoh.”

Sekali lagi, Wiki lebih paham tentang konsep kehidupan. Menurutnya, pakaian tidak memberikan masa depan yang gemilang. Karena tanpa ilmu dan kecerdasan, pakaian bagus hanya terlihat seperti atribut tanpa arti.

Aku, sebagai teman dekatnya, selalu senang berbagi dengannya. Dia pendengar sekaligus pencerita yang baik. Bahkan, ketika aku ingin berjumpa dengannya, dia selalu mudah ditemukan.
Rumah, adalah satu-satunya tempat di mana ia selalu menghabiskan hari-harinya.

Dan di situlah tempat kami menghabiskan waktu berjam-jam demi sebuah diskusi tanpa tepi.

Sungguh, aku mengagumimu, Wiki. Seandainya kau berwujud, mungkin aku akan mengajakmu terbang jauh menuju North Carolina, USA—tempat di mana seorang Nicholas Sparks—penulis favoritmu—menceritakan seluruh karangan kisahnya.

Untuk temanku, Wiki Flixiandino, yang saat ini sedang berada di dalam ragaku. Jangan bersembunyi, gerakan persendian tubuhku untuk maju bersama ide brilianmu. Aku tau, kamu di dalam. Aku tau, kamu berbisik pada diriku yang lain. Aku tau, kau sedang memanfaatkan darahku untuk menulis sebuah wacana hidup. Aku tau, Wiki, aku tau, jika dirimu sebenarnya adalah aku.

Rabu, 07 Januari 2015

# Rindu



Aku rindu pada kebersamaan yang telah lama hilang.
Aku rindu.
Sangat rindu.
Aku menghiasi hariku dengan kesendirian. Mencoba mengukir kehidupan mandiri, namun aku gagal.
Aku tau jika membahagiakan diri sendiri adalah kegagalan sejati. Mencoba tertawa di balik kesedihan adalah kemutlakan seorang pecundang.
Percayalah, aku gagal.
Sangat gagal.
Namun aku rindu.
Rindu menciptakan kebahagiaan denganmu.


Bekasi 7 Januari 2015.
Untukmu, yang sampai detik ini masih kurindukan.

Kamis, 01 Januari 2015

# Pilihan

      Hidup adalah pilihan. Begitu kata pepatah yang selalu kudengar. Kekasihku yang cantik, selamat atas segala pilihanmu. Aku menghargainya. Pilihanmu, adalah pilihan terbaik dari Tuhan. Aku percaya itu.

          Ada jutaan pilot di luar sana, ada jutaan dokter, jutaan polisi, jutaan PNS, jutaan gubernur, jutaan musisi, jutaan dosen, dan jutaan-jutaan profesi hebat lainnya. Tapi siapa yang tau, jika akhirnya kau akan bersanding denganku. Duduk di sampingku. Berbicara tentang masa depan, hingga masa depan itu benar-benar kita raih bersama-sama

          Kekasihku yang manis, selamat atas pilihanmu. Jangan pernah hiraukan keadaanku. Tenang saja, aku akan tetap mencintaimu. Terus. Sampai kau menyadari, jika hidup bukanlah suatu pilihan. Tapi pilihan yang akan membuatmu jauh lebih hidup.


Bekasi 2 Januari 2015.
Dariku, lelaki yang benci dengan pilihan.