Tadi sore aku lihat seorang gadis muda menangis sesenggukkan di teras rumahnya. Tubuhnya terkulai di atas lantai, tatapannya layu memandang lelaki yang berdiri di hadapannya.
Tidak jauh dari situ, terdapat rumah bertingkat yang sebagian dindingnya terhalang pohon jambu. Aku sembunyi di balik dindingnya, lalu diam-diam memandang mereka berdua.
Tampaknya mereka adalah sepasang kekasih yang sedang berseteru, cekcok. Aku tidak tahu pasti apa penyebabnya. Namun, wajah sang lelaki tampak marah. Dibentak gadisnya itu keras-keras. Berkali-kali, dengan makian bervariasi. “Gak usah merengek! Kamu pikir aku bakal kasihan? Nggak!”
Gadis itu semakin hancur. Terdengar jelas dari jerit tangisnya yang memuncak. Agak terputus-putus.
“Maaf,” katanya, setengah memohon. “Tolong—maafin akuuuuu.” Kalimat itu seperti memberi penekanan bahwa dia sedang memelas.
Jawaban berikutnya tidak sanggup kutangkap dengan jelas. Namun intinya diutarakan dengan bentakkan keras. Mungkin dia juga menyisipkan kata-kata kasar, sebab setelah itu sang gadis berkata, “Kamu kok ngomongnya gitu, sih?” lalu dilanjutkan dengan kalimat: “Kamu kan pacarku.”
Bentakkan demi bentakkan terus menghantam naluri kewanitaannya. Kasihan. Dia sampai terpuruk. Merengek-rengek minta diampuni. Memangnya siapa lelaki itu? Anak raja? Toh tampang dan penampilannya biasa saja; sedikitpun tak ada yang istimewa.
Aku beranjak, lalu memikirkan tentang peristiwa tadi. Sempat termengu beberapa saat. Bertanya dalam hati, mengapa lelaki yang awalnya bilang ‘sayang’ dan setuju untuk mengikat komitmen sering sekali berdusta? Menurutku, perkataan kasar adalah kedustaan yang paling brengsek; kebrengsekan yang paling dusta. Ini mengingatkanku akan perkataan teman dekatku: kualitas seorang pria tergantung pada ucapannya. Juga mengingatkanku dengan perkataan Rasulullah, bahwa sebaik-baiknya lelaki adalah dia yang baik kepada istrinya.
Aku tekankan sekali lagi: kepada istrinya.
Lantas bagaimana dengan mereka yang berlaku kasar kepada pacarnya? Tentu saja terkesan lebih sampah. Lelaki yang tidak sanggup menjaga mulutnya itu sampah!
Kemudian saya teringat pada janji yang pernah saya ucapkan kepada ibu beberapa tahun lalu:
“… Bu, aku punya dua janji yang tidak mungkin aku langgar. Pertama, aku berjanji tidak akan menghisap rokok. Kedua, dan ini mohon ibu ingat, aku berjanji sama ibu – sebagai wanita – bahwa aku tidak akan sampai hati membentak istriku atau mengeluarkan kata-kata tidak perlu. Sungguh, tolong bantu aku mengingat kedua janji itu, Bu.”
Lalu aku terus menyusuri jalan. Berdo’a penuh harap, agar kelak ibu diberi umur panjang, dan dapat melihat anaknya berhasil memenuhi janji.
Bekasi, 1 Mei 2016.