Usiaku 13 ketika bertemu dengannya. Dalam usia itu, aku senang mengamati hal-hal yang berhubungan dengan hiburan. Aku senang melihat layangan, aku senang melihat sepeda BMX, aku senang melihat otopet, dan aku senang melihat temanku datang membawa sebuah kotak musik.
Aku bertemu dengannya ketika kami sama-sama duduk di bangku SMP. Dia adalah murid yang cemerlang, guru-guru mengagumi perangainya. Dan aku, mengagumi segala pada dirinya.
Kami beranjak dewasa di sekolah yang sama, ketika duduk di bangku kelas tiga, pesonanya semakin dalam. Aku berbenah diri dan bercerita pada teman semejaku tentang betapa cantiknya dirimu hari itu.
Suatu pagi, aku bertemu denganmu dengan sepeda yang kau pacu dengan cepat. Kamu berbelok dengan tergesa-gesa hingga hampir menabrak bebatuan besar yang terletak di persimpangan jalan komplek. Aku membuntutimu dari belakang. Melihat dengan jelas, betapa indahnya rambutmu berkibar diterpa angin. Di kejauhan, aku terus memacu sepeda hitamku dan memisahkan diri di tikungan akhir menuju sekolah, karena malu jika bertemu kamu di pelataran parkir yang sama.
Siangnya, aku selalu duduk di kursi belakang sepedamu, membayangkan, jika pada sore hari, aku duduk di sepeda ini, bersamamu, melintasi jalan-jalan bebatuan dan berakhir dengan was-was karena tersesat di tempat asing.
Kamu cantik sekali dengan sepeda itu. Wanita lain di luar sana, pasti enggan menukar keringatnya dengan goesan sepeda menuju sekolah.
Masih adakah gadis sederhana sepertimu?
Tentu ada, tapi langka.
Aku ingat bagaimana perasaanku ketika melukis di ruang kelas. Kamu berada dua jengkal di belakangku. Sangat dekat, tapi tidak menyulut dukungan untukku. Kamu sibuk dengan handphone-mu, kamu sibuk dengan benda canggih itu, kamu sibuk, sibuk, sibuk, dan terus sibuk. Sampai lupa, jika di hadapanmu, ada anak lelaki yang hatinya sedang berdebar penuh kegelisahan.
Esok lusanya, aku mendapat kabar jika sibukmu ternyata untukku. Aku melihatnya langsung. Di galeri handphone-mu, ada fotoku sedang melukis sebuah tribal dan fauna umum. Kamu memotret-ku, memotret dalam arti harfiah, karena yang kau potret hanya aku, tidak dengan lukisanku.
Buruk sekali laki-laki yang kau potret. Dia mengenakan kaos berwarna hitam yang sedikit longgar, kulitnya hitam, rambutnya dibiarkan berantakan, dan cat yang dia pakai untuk melukis tergores di pipi kiri dan kanannya.
“Kamu motret aku, ya?”
Itu yang kutanyakan padamu saat itu, dan kau berusaha menutupi rasa malumu dengan menyembunyikan handphone-mu ke dalam saku baju.
“Nggak kok.” Kau menghela napas panjang dan merunduk. Rambut indahmu menutupi sebagian wajahmu yang tampak memerah. “Percaya deh, aku nggak motret apa-apa.”
Kata ‘apa-apa’ hanya merujuk pada benda. Jika gadis itu benar tidak memotretku, aku yakin, dia pasti lebih memilih kata ‘siapa-siapa’ ketimbang ‘apa-apa’.
Tapi tidak masalah, kau terlihat cantik ketika berbohong.
….
Tujuh tahun berlalu, kau sudah lupa dengan pria lusuh yang kau potret saat melukis. Sekarang kau berdiri bersama pria gagah yang menjanjikan masa depan. Pria yang memiliki pandangan dan sikap meyakinkan. Tetaplah di sampingnya, cemburuku tak akan mewakili kegembiraanmu. Bersandinglah, tetap menjadi wanita yang baik.
Titip salamku untuk lelakimu. Namun jangan biarkan dia tau kedekatan kita dulu, karena kalimatmu akan menyakiti hatinya. Percayalah, aku tidak mungkin tega melihat pemandangan itu.
Gadis manis, jika suatu saat nanti kamu menjadi seorang istri dan hidup dalam kemewahan, jangan lupakan sepedamu. Aku mengenalmu melalui kesederhanaan—melalui cara-cara lucu yang kau curahkan tiap paginya. Tiap kayuhan sepedamu. Tiap kibasan rambut indahmu. Tiap kucuran keringatmu. Tiap semangat belajarmu.
Semuanya manis.
Itu yang membuatmu beda.
Itu, yang membuatku jatuh cinta.
Bekasi, 1 November 2015.
Dariku, teman masa mudamu.