Sabtu, 31 Oktober 2015

Salamku untuk Lelakimu

Usiaku 13 ketika bertemu dengannya. Dalam usia itu, aku senang mengamati hal-hal yang berhubungan dengan hiburan. Aku senang melihat layangan, aku senang melihat sepeda BMX, aku senang melihat otopet, dan aku senang melihat temanku datang membawa sebuah kotak musik.

Aku bertemu dengannya ketika kami sama-sama duduk di bangku SMP. Dia adalah murid yang cemerlang, guru-guru mengagumi perangainya. Dan aku, mengagumi segala pada dirinya.

Kami beranjak dewasa di sekolah yang sama, ketika duduk di bangku kelas tiga, pesonanya semakin dalam. Aku berbenah diri dan bercerita pada teman semejaku tentang betapa cantiknya dirimu hari itu.

Suatu pagi, aku bertemu denganmu dengan sepeda yang kau pacu dengan cepat. Kamu berbelok dengan tergesa-gesa hingga hampir menabrak bebatuan besar yang terletak di persimpangan jalan komplek. Aku membuntutimu dari belakang. Melihat dengan jelas, betapa indahnya rambutmu berkibar diterpa angin. Di kejauhan, aku terus memacu sepeda hitamku dan memisahkan diri di tikungan akhir menuju sekolah, karena malu jika bertemu kamu di pelataran parkir yang sama.

Siangnya, aku selalu duduk di kursi belakang sepedamu, membayangkan, jika pada sore hari, aku duduk di sepeda ini, bersamamu, melintasi jalan-jalan bebatuan dan berakhir dengan was-was karena tersesat di tempat asing.

Kamu cantik sekali dengan sepeda itu. Wanita lain di luar sana, pasti enggan menukar keringatnya dengan goesan sepeda menuju sekolah.
Masih adakah gadis sederhana sepertimu?

Tentu ada, tapi langka.

Aku ingat bagaimana perasaanku ketika melukis di ruang kelas. Kamu berada dua jengkal di belakangku. Sangat dekat, tapi tidak menyulut dukungan untukku. Kamu sibuk dengan handphone-mu, kamu sibuk dengan benda canggih itu, kamu sibuk, sibuk, sibuk, dan terus sibuk. Sampai lupa, jika di hadapanmu, ada anak lelaki yang hatinya sedang berdebar penuh kegelisahan.

Esok lusanya, aku mendapat kabar jika sibukmu ternyata untukku. Aku melihatnya langsung. Di  galeri handphone-mu, ada fotoku sedang melukis sebuah tribal dan fauna umum. Kamu memotret-ku, memotret dalam arti harfiah, karena yang kau potret hanya aku, tidak dengan lukisanku.

Buruk sekali laki-laki yang kau potret. Dia mengenakan kaos berwarna hitam yang sedikit longgar, kulitnya hitam, rambutnya dibiarkan berantakan, dan cat yang dia pakai untuk melukis tergores di pipi kiri dan kanannya.

“Kamu motret aku, ya?”

Itu yang kutanyakan padamu saat itu, dan kau berusaha menutupi rasa malumu dengan menyembunyikan handphone-mu ke dalam saku baju.

“Nggak kok.” Kau menghela napas panjang dan merunduk. Rambut indahmu menutupi sebagian wajahmu yang tampak memerah. “Percaya deh, aku nggak motret apa-apa.”

Kata ‘apa-apa’ hanya merujuk pada benda. Jika gadis itu benar tidak memotretku, aku yakin, dia pasti lebih memilih kata ‘siapa-siapa’ ketimbang ‘apa-apa’.

Tapi tidak masalah, kau terlihat cantik ketika berbohong.

….

Tujuh tahun berlalu, kau sudah lupa dengan pria lusuh yang kau potret saat melukis. Sekarang kau berdiri bersama pria gagah yang menjanjikan masa depan. Pria yang memiliki pandangan dan sikap meyakinkan. Tetaplah di sampingnya, cemburuku tak akan mewakili kegembiraanmu. Bersandinglah, tetap menjadi wanita yang baik.

Titip salamku untuk lelakimu. Namun jangan biarkan dia tau kedekatan kita dulu, karena kalimatmu akan menyakiti hatinya. Percayalah, aku tidak mungkin tega melihat pemandangan itu.

Gadis manis, jika suatu saat nanti kamu menjadi seorang istri dan hidup dalam kemewahan, jangan lupakan sepedamu. Aku mengenalmu melalui kesederhanaan—melalui cara-cara lucu yang kau curahkan tiap paginya. Tiap kayuhan sepedamu. Tiap kibasan rambut indahmu. Tiap kucuran keringatmu. Tiap semangat belajarmu.

Semuanya manis.

Itu yang membuatmu beda.

Itu, yang membuatku jatuh cinta.

Bekasi, 1 November 2015.
Dariku, teman masa mudamu.

Jumat, 23 Oktober 2015

Rindu Mendengar Ucapan Rindu

Orang bilang, rindu cuma bisa diobati dengan bertemu. Aku percaya? Tentu saja iya—jika kerinduan hanya dibatasi oleh jarak antar fisik.

Jarak antar fisik bisa kita tempuh dengan jenis kendaraan apa pun. Semudah itu untuk bertemu; semudah itu untuk memeluknya secara langsung.

Tapi, pernahkah terlintas di pikiranmu, bahwa rindu yang dibatasi oleh hak adalah jenis rindu paling dahsyat yang pernah ada?

Kita bukan siapa-siapa. kita bukan orang yang dia kenal. Kita, hanya satu, dari ratusan teman bermainnya. Tapi apa yang dia tau soal kita? Apa yang dia tau soal jam malam kita? Atau, apakah dia tau, kalimat rindu yang ingin kita sampaikan masih menunggu antrian kalimat-kalimat lain yang lebih kuat?

Kita hanya dipaksa rindu oleh orang yang layak kita rindukan.

Kita hanya dipaksa rindu oleh orang yang tidak pernah kita rindukan.

Buruknya, kita hanya boleh rindu kepada mereka yang sudah menyampaikannya lebih dulu.

Aku kuat, sayang. Aku kuat ketika kalimat rinduku tak pernah kau balas. Aku kuat, ketika kau mendengar kalimat rinduku, namun kau mengalihkannya kepada lelakimu. Aku kuat, maksudku, aku mencoba kuat, demi menyampaikan rasa rinduku yang tak pernah kau hiraukan.

Semuanya terlampau sering. Kerinduanku sudah meracau—mencapai titik di mana mengatakannya saja bosan. Karena tak pernah sekali pun aku tidak rindu denganmu.

Sayangku, jika suatu hari nanti kau rindu, katakan saja pada lelakimu. Tidak apa-apa, kau bisa membayangkan jika dia adalah aku. Katakan sesuka hatimu. Katakan dengan kesungguhan. Katakan seperti apa yang ingin kukatakan. Perkara aku, kau tak perlu memikirkan. Aku adalah lelaki yang tak berhak mendengar ucapan rindumu.

Sampai kapan pun, tak akan pernah.

Bekasi, 24 Oktober 2015.
Dariku, pria yang rindu mendengar ucapan rindu.