Perkenalkan, nama saya Dino, umur 24 tahun, dan berprofesi sebagai tukang kayu di Kalimantan Timur.
Bekerja di Kalimantan, membuat saya jauh dari teman dan keluarga. Hal ini yang menjadi alasan mengapa saya sering merenung dan membayangkan sosok teman saya di ibukota.
Namanya Wiki, tipikal pria sederhana yang selalu mengenakan kacamata.
Saat ini, dia sedang melanjutkan studinya di jurusan ilmu komunikasi, agak melenceng dari mimpinya sejak kecil. Bukan agak, tapi sangat. Namun dia tetap menjalaninya, menikmati dan merasa semua ini baik-baik saja.
Sabtu sore, Wiki mengirim surat dan bercerita banyak tentang seorang wanita. Dia pemalu, sehingga hanya berani menceritakan pengalaman ini melalui surat, itupun hanya kepada teman terdekatnya.
Mau tau isi suratnya?
Begini..
---------
Bekasi, 6 Januari 2016.
Untuk sahabat yang hanya hidup di kepalaku.
Dino.
Assalamualaikum, No.
Gimana keadaanmu di sana? Kemarin aku dapet kabar kalau kamu menetap di Kalimantan Timur, ya? Jauh sekali. Semoga ada orang baik yang senantiasa memperlakukanmu dengan baik.
Karena kebaikan yang bertemu kebaikan lain akan menghasilkan hal-hal baik.
Oh iya, No. Ngomong-ngomong, aku mau cerita nih.
Jadi, aku—hm, gimana cara jelasinnya ya.
Begini lho, No.
Baru-baru ini, aku sedang mengamati dan mengagumi seseorang. Dia cantik—yah, aku nggak tau menurutmu gimana—tapi dia bener-bener cantik. Dia gadis yang hatinya terpaku pada islam. Caranya berpakaian, bertutur, berjalan, memberiku keyakinan pada pesona dalam sikapnya.
Dia cantik dalam balutan islam.
Seperti pepatah Arab yang berbunyi Hubbu kassyay a yu’mii wayutsimmu. Cintamu kepada sesuatu, menjadikanmu buta dan tuli.
Tentu dia mampu membuatku buta dan tuli, No. Buta dalam keindahan; tuli dalam titik kebaikan. Bahwa aku tak mampu memandangnya dari dekat. Tak mampu, karena kepatuhanku pada islam.
Dino, kau pernah melihat bagaimana remaja saling bergandengan tangan dengan kekasihnya? Bersama-sama pergi ke tempat wisata dan saling berpandangan? Aku tak mampu seperti itu, No. Gadis yang kukagumi tidak memandang cinta semurah itu. Bahkan tanpa menyentuhnya, bila benar-benar cinta, romansa mampu tumbuh melalui do’a.
Sahabatku, kau sedang berada di pulau jauh. Kalimantan Timur. Jelas suaramu tak akan mampu kudengar. Bahkan sekeras apapun kau teriak, gaungannya tak mampu kutangkap. Dino, kumohon, kirimkan do’a dari pulau seberang. Kirimkan dalam ketulusan seorang kawan. Tentang rasaku padanya, semoga dapat diikat dengan tali keislaman.
Dia adalah gadis yang baik.
Jika aku belum baik, semoga dia mampu memperbaiki.
Do’akan, agar kelak kami mampu menangis bersama; meneteskan air mata di atas lembaran Qur’an. Bahwa kami hanya hamba, yang ditakdirkan untuk ditemukan, bukan menemukan.
Dino, sahabatku yang baik hati, suatu hari nanti kau juga akan merasakannya—jatuh cinta kepada gadis yang membawamu pada hal baik. Dan bila saat itu tiba, tulis saja sebuah surat. Tulis sebanyak-banyaknya. Hingga kau lelah. Lalu kirimkan. Bahwa kita adalah orang yang sama, dan kau tumbuh dalam imajinasiku saja.
Terima kasih telah membaca ceritaku, No. Kalau kami benar-benar bersanding; menjadi pasangan yang saling melengkapi dan dilengkapi, izinkan aku untuk mengenalkannya padamu.
Seorang gadis, yang namanya mampu kau jumpai di dalam Qur’an.
Salam,
Sahabatmu yang tinggal di Bekasi,
Wiki.
-----
Aku melipat surat yang Wiki kirimkan. Betapa aku sangat menyukai cara dia mengagumi wanita. Suci dan mampu menjaga fitrah-nya.
Qur’an adalah lembar-lembar pertimbangan, begitu katanya. Sebab seorang gadis, yang rela menukar waktu kosongnya untuk membaca Qur’an, akan rela menukar waktu-waktu lainnya untuk dihabiskan berdua.
Entah apa, tapi itu yang dia katakan.
Suatu hari nanti, jika aku pulang ke Bekasi dan bertemu Wiki, aku akan memeluknya dan berkata,
“Kau benar, Allah telah menyebut nama gadis itu—entah berapa kali—di dalam Qur’an.”