Kamis, 21 Januari 2016

Numeralia

Aku suka sastra; kamu suka matematika.

Aku suka kata; kamu suka angka.

Numeralia.

Ketika kamu duduk menghadap papan tulis dengan rambut berantakan, aku menemukan kecerdasan tanpa tandingan. Bahwa kau sibuk dengan penjabaran, menulis angka dan memisahkannya dengan garis. Manis sekali. Wanita lain tidak memahami sisi keromantisan sebuah angka.

Katamu, persamaan dapat dipecahkan dengan logaritma. Tapi kamu tampil luar biasa ketika berkelit dengannya. Di atas meja, sobekan kertas berhambur. Telapak tanganmu penuh dengan goresan pulpen. Cantik sekali; kamu cantik ketika berdua dengan logaritma.

Numeralia.

Kamu ketus memandang soal kalkulus. Dengan keringat yang berkucur, kau patahkan penjabaran rumit. Notasi seperti makanan basi. Integral seperti latihan berhitung awal.

Numeralia.

Bahwa kau adalah sastra, yang bersemayam di balik angka.

Bekasi, 22 Januari 2016
Dariku, siswa yang tak pernah lulus matematika.

Jumat, 15 Januari 2016

Pesona dalam Sederhana

Tulisan ini bakal random dan lepas dari kaidah penulisan yang baik dan benar. Aku nggak peduli. Karena yang kuingankan hanya menyampaikan perasaanku. Menulis, lalu lega.

Untuk gadisku, hari ini aku membuka kenangan kita. Terus menerus, hingga tenggelam. Aku senang tenggelam dalam kenangan. Karena hanya dalam kenangan, aku mampu menjadi perenang.

Aku menyusuri tahun-tahun kita dulu dan mendapati banyak jejak kaki yang belum terhapus ombak. Aku berenang dengan baik, sampai akhirnya waktu menyadarkanku, bahwa dunia ini sepi. Terlalu banyak orang yang ingin terlihat hebat. Topeng-topeng dikoleksi guna berjaga dari kondisi. Mereka saling tabrak untuk sampai titik puncak.

Namun tidak denganmu, sayang.

Kamu selalu tampil sederhana tanpa takut dihakimi. Kamu biarkan wajahmu tersapu sinar matahari, selagi wanita lain mengutuk panasnya kota ini. Kamu terus berhitung, selagi wanita lain menganggap bahwa matematika tidak lebih dari omong kosong. Kamu, entahlah, selalu menciptakan kutipanmu sendiri—belajar dari kesalahan masa lalu, tanpa harus mengoleksi kutipan orang lain.

Mandiri.

Kamu menolak bantuan orang lain, karena kamu mampu melakukannya sendiri. Dengan kepercayaan, kau patahkan prasangka-prasangka. Kau berdiri di bukit tertinggi, mengangkat tinggi-tinggi tanganmu, dengan wajah yang ditundukkan.

Kau tidak ingin orang lain mengetahui kehebatanmu, bukan?

Teruslah seperti itu; jangan pedulikan orang lain. Mereka hebat dengan usahanya masing-masing; ada yang mengalir, ada juga yang dipaksakan. Biarkan, itu mereka bukan kamu.

Karena kamu,

Tetap memesona dalam balutan sederhana.

Bekasi, 15 Januari 2016
Dariku, lelaki yang lebih senang menulis ketimbang berenang.

Rabu, 06 Januari 2016

Surat Dariku, Untuk Diriku.

Perkenalkan, nama saya Dino, umur 24 tahun, dan berprofesi sebagai tukang kayu di Kalimantan Timur.

Bekerja di Kalimantan, membuat saya jauh dari teman dan keluarga. Hal ini yang menjadi alasan mengapa saya sering merenung dan membayangkan sosok teman saya di ibukota.

Namanya Wiki, tipikal pria sederhana yang selalu mengenakan kacamata.

Saat ini, dia sedang melanjutkan studinya di jurusan ilmu komunikasi, agak melenceng dari mimpinya sejak kecil. Bukan agak, tapi sangat. Namun dia tetap menjalaninya, menikmati dan merasa semua ini baik-baik saja.

Sabtu sore, Wiki mengirim surat dan bercerita banyak tentang seorang wanita. Dia pemalu, sehingga hanya berani menceritakan pengalaman ini melalui surat, itupun hanya kepada teman terdekatnya.

Mau tau isi suratnya?

Begini..

---------

Bekasi, 6 Januari 2016.

Untuk sahabat yang hanya hidup di kepalaku.

Dino.

Assalamualaikum, No.

Gimana keadaanmu di sana? Kemarin aku dapet kabar kalau kamu menetap di Kalimantan Timur, ya? Jauh sekali. Semoga ada orang baik yang senantiasa memperlakukanmu dengan baik.

Karena kebaikan yang bertemu kebaikan lain akan menghasilkan hal-hal baik.

Oh iya, No. Ngomong-ngomong, aku mau cerita nih.

Jadi, aku—hm, gimana cara jelasinnya ya.

Begini lho, No.

Baru-baru ini, aku sedang mengamati dan mengagumi seseorang. Dia cantik—yah, aku nggak tau menurutmu gimana—tapi dia bener-bener cantik. Dia gadis yang hatinya terpaku pada islam. Caranya berpakaian, bertutur, berjalan, memberiku keyakinan pada pesona dalam sikapnya.

Dia cantik dalam balutan islam.

Seperti pepatah Arab yang berbunyi Hubbu kassyay a yu’mii wayutsimmu. Cintamu kepada sesuatu, menjadikanmu buta dan tuli.

Tentu dia mampu membuatku buta dan tuli, No. Buta dalam keindahan; tuli dalam titik kebaikan. Bahwa aku tak mampu memandangnya dari dekat. Tak mampu, karena kepatuhanku pada islam.

Dino, kau pernah melihat bagaimana remaja saling bergandengan tangan dengan kekasihnya? Bersama-sama pergi ke tempat wisata dan saling berpandangan? Aku tak mampu seperti itu, No. Gadis yang kukagumi tidak memandang cinta semurah itu. Bahkan tanpa menyentuhnya, bila benar-benar cinta, romansa mampu tumbuh melalui do’a.

Sahabatku, kau sedang berada di pulau jauh. Kalimantan Timur. Jelas suaramu tak akan mampu kudengar. Bahkan sekeras apapun kau teriak, gaungannya tak mampu kutangkap. Dino, kumohon, kirimkan do’a dari pulau seberang. Kirimkan dalam ketulusan seorang kawan. Tentang rasaku padanya, semoga dapat diikat dengan tali keislaman.

Dia adalah gadis yang baik.

Jika aku belum baik, semoga dia mampu memperbaiki.

Do’akan, agar kelak kami mampu menangis bersama; meneteskan air mata di atas lembaran Qur’an. Bahwa kami hanya hamba, yang ditakdirkan untuk ditemukan, bukan menemukan.

Dino, sahabatku yang baik hati, suatu hari nanti kau juga akan merasakannya—jatuh cinta kepada gadis yang membawamu pada hal baik. Dan bila saat itu tiba, tulis saja sebuah surat. Tulis sebanyak-banyaknya. Hingga kau lelah. Lalu kirimkan. Bahwa kita adalah orang yang sama, dan kau tumbuh dalam imajinasiku saja.

Terima kasih telah membaca ceritaku, No. Kalau kami benar-benar bersanding; menjadi pasangan yang saling melengkapi dan dilengkapi, izinkan aku untuk mengenalkannya padamu.

Seorang gadis, yang namanya mampu kau jumpai di dalam Qur’an.

Salam,

Sahabatmu yang tinggal di Bekasi,

Wiki.

-----

Aku melipat surat yang Wiki kirimkan. Betapa aku sangat menyukai cara dia mengagumi wanita. Suci dan mampu menjaga fitrah-nya.

Qur’an adalah lembar-lembar pertimbangan, begitu katanya. Sebab seorang gadis, yang rela menukar waktu kosongnya untuk membaca Qur’an, akan rela menukar waktu-waktu lainnya untuk dihabiskan berdua.

Entah apa, tapi itu yang dia katakan.

Suatu hari nanti, jika aku pulang ke Bekasi dan bertemu Wiki, aku akan memeluknya dan berkata,

“Kau benar, Allah telah menyebut nama gadis itu—entah berapa kali—di dalam Qur’an.”

Senin, 04 Januari 2016

Januari ini Milikmu

Kudengar sebentar lagi usiamu bertambah. Cepat sekali. Padahal baru kemarin aku hadir untuk merayakan ulang tahunmu yang ke-18. Waktu berlalu dengan cepat. Lebih cepat dari yang kubayangkan sebelumnya. Dan kuharap kau masih ingat bahwa ada lelaki yang bermain gitar di bawah hujan. Bernyanyi. Dan kau mengira bahwa lelaki itu adalah pengamen.

Kau ingat?

Ibu menyuruhmu membawakanku uang. Memang, peduli kepada pengamen itu perlu. Tapi saat itu, aku bukan pengamen. Meski sebenarnya, kondisi dan penampilanku kala itu benar menyerupai pengamen.

Aku masuk ke dalam rumahmu, mencoba memberi kejutan dengan membawakanmu kue buatanku. “Tadi hujan deras,” ucapku dalam hati. “Pasti kuenya rusak.”

Aku membuka kotak kue. Sangat hati-hati hingga kau harus menunggunya lebih lama.

“Kuenya agak rusak,” kataku saat itu. “Maaf ya.”

Kamu tidak kecewa, apalagi marah. Aku suka caramu menahan tawa ketika menyadari ada hal ganjil di kue itu. “Kamu lupa umurku?”

“Kamu,” kataku. “18 tahun, kan?”

“Tapi lilin yang kamu taruh gak bilang gitu.”

Aku mengangkat kotak kue, mengeluarkan isinya sebelum aku pindahkan ke piring berukuran besar. “Oh iya,” kataku, menyadari sesuatu. “Kok 81 tahun sih?”

“Emang aku keliatan setua itu ya?”

Tidak, kamu tidak terlihat tua. sama sekali tidak. aku hanya keliru meletakkan lilin itu, keliru tidak berarti lupa, kan? Kalau aku tidak keliru, mungkin aku tidak akan melihat gelak tawamu. Semesta kadang menarik, mampu mengubah peristiwa dan menempatkannya pada ruang dan keadaan yang lebih baik.

Mungkin kau gagal mengingat peristiwa ini. Mungkin saja. Karena kebaikan ini telah digantikan oleh kebaikan baru yang lebih tinggi; yang lebih membuatmu bahagia. Aku tak ingin diingat, tapi juga tak ingin dilupa. Kau dalam genggaman pelindung baru. Dalam usia yang lebih dewasa, kau dalam rengkuh, kasih, dan sayangnya. Bahwa kau layak mendapat kebahagiaan ini. tentang usiamu, ulang tahunmu, dan kejutan yang dia berikan.

Maukah kau menceritakannya padaku?

Atau menulis sebuah surat dan kau titipkan pada kawanmu?

Jika kau menolaknya, tak apa. Aku tidak memaksa. Usiamu sudah dewasa, kau tau langkah apa yang harus dipilih.

Tentang ulang tahunmu, aku mendoakan yang terbaik untuk kalian. Semoga kebaikan senantiasa menyapa. Dari pagi hingga malam dan dari malam hingga pagi, warna-warni kebahagiaan melebur dalam satu rasa. Kelak, bila kau benar-benar lupa denganku, kue itu akan mengingatkanmu, bahwa aku adalah lelaki pertama yang memberi ucapan ‘selamat ulang tahun ke-81’ padamu, di usia kita yang baru menginjak 18 tahun.

Bekasi, 5 Januari 2016.
Dariku, lelaki yang kau kira pengamen.