Aku rindu hujan bulan
Desember. Di suatu taman wisata, kita–ya, hanya kita, bahkan serangga pun tak
ada–bersama-sama menahan dinginnya udara Jakarta. Kau masih setia di
sampingku. Memancarkan wajah yang luar biasa pucat.
‘Astaga, kamu jangan menggodaku.
Aku tak bisa berpaling darimu, wajah pucatmu sangat cantik. Kau harus tau itu.’ Ucapku dalam
hati.
Gemericik air hujan mengimbangi suara getaran yang kau
ciptakan dari gigimu. Kamu lucu. Kamu lucu di segala peristiwa.
Sekian menit kita berada di bawah atap rumah gubuk. Hujan
masih terus menghantam lembabnya tanah Jakarta. Kamu menatapku, seolah itu
adalah tatapan terakhir yang bisa kau sampaikan. Aku menggenggam tanganmu,
memberimu sedikit kehangatan. Ya, hanya sedikit, tapi penuh dengan
kasih sayang.
‘Sepatumu kotor, liat
deh!' Kamu menunjuk sepatu lusuhku menggunakan sebatang kayu yang
tergeletak di dekat atap gubuk. Pikirku, Ah,
apa peduliku dengan sepatu, aku sedang bersama gadis cantik saat ini.
Dan kamu kembali
menatapku. Tatapan itu, tatapan mata sayu yang melegenda. Aku terperanga.
Rasanya.. ah, rasanya ingin kupeluk ragamu. Memelukmu dengan alasan tidak
masuk akal, seperti : Aku mengagumi mata sayumu,
boleh kupeluk tubuhmu?
Aku bersumpah akan
memelukmu dengan cara yang menyenangkan. Dengan cara yang belum pernah ada
sebelumnya. Percayalah, aku bersumpah atas nama hujan bulan Desember.
Untukmu, semesta
alam, dapatkah kau mengulang hujan bulan Desember di bulan Desember lain?
Peristiwa itu, pertistiwa 4 tahun lalu, akan menjadi pertanyaan penuh
misteri: Sebenernya, hujan yang membuat
romansa menjadi indah, atau romansa yang membuat hujan menjadi indah?
Ah, entahlah. Yang
kutau hanya satu, saat ini, aku sangat merindukan hujan bulan Desember.
Bekasi, 26 Desember 2014.
Dariku, lelaki yang pernah ingin memelukmu di
tengah hujan.