Semua orang pernah bicara, bertutur, dan bercerita, namun tak berkata apa-apa.
Suatu sore, di pelataran rumah, aku membayangkan tentang kesendirianku. Tentang dulangan semangat yang kulakukan sendiri. Padahal, di luar sana, banyak sekali pemuda yang menang karena dorongan sosok istimewa—dorongan wanita yang dia cinta.
Pernahkah kamu membayangkan, sebentar saja, tentang titik pencapaianmu? Kamu melakukan sebuah resolusi, kemudian berhasil mencentang satu demi satu wacana hidupmu. Namun ketika semua wacana berhasil kamu capai, kamu akan merasa jika semua itu tak berarti apa-apa. Sekali lagi, kutanyakan, pernahkah?
Pada titik itu, keberhasilanmu sebenarnya sudah baik. Tapi ada satu hal yang mungkin kurang bagimu—satu hal yang belum kamu miliki. Yaitu dia, sosok yang mencintaimu.
Bayangkan jika kamu memiliki pendamping—atau biasa disebut pacar, kekasih, atau apalah, semua pencapaianmu pasti akan memiliki tujuan. Akan ada deadline di sana. Karena, mau nggak mau, kamu harus mencapai titik suksesmu sebelum kalian menikah. Dan ketika semua itu sudah tercapai, maka di situlah letak keberhasilanmu berada.
Tapi, pernahkah kamu membayangkan jika sebenarnya kamu nggak butuh sosok pendamping, lalu berpikir jika selama ini keluh kesahmu hanya butuh wadah?
Kamu memiliki tumpukan cerita dan berusaha untuk menumpahkannya pada seseorang. Namun kebanyakan dari mereka menghindar karena tidak memiliki wadah atau tempat untuk menampung cerita-ceritamu.
Kita nggak butuh pacar, tapi keluh kesah kita butuh wadah.
Kita nggak butuh pacar, tapi isi kepala kita terlalu penuh untuk disimpan sendiri.
Kita nggak butuh pacar, tapi pulpen kita butuh lembaran kertas.
Detik ini, timbul satu pertanyaan sulit yang semesta hadiahkan untuk diriku.
‘Han, mulai sekarang kamu butuh wadah, kan?’
Bekasi, 28 Agustus 2015
Dariku, lelaki yang butuh wadah terbaik.