Kamis, 27 Agustus 2015

Aku Butuh Wadah?

Semua orang pernah bicara, bertutur, dan bercerita, namun tak berkata apa-apa.

Suatu sore, di pelataran rumah, aku membayangkan tentang kesendirianku. Tentang dulangan semangat yang kulakukan sendiri. Padahal, di luar sana, banyak sekali pemuda yang menang karena dorongan sosok istimewa—dorongan wanita yang dia cinta.

Pernahkah kamu membayangkan, sebentar saja, tentang titik pencapaianmu? Kamu melakukan sebuah resolusi, kemudian berhasil mencentang satu demi satu wacana hidupmu. Namun ketika semua wacana berhasil kamu capai, kamu akan merasa jika semua itu tak berarti apa-apa. Sekali lagi, kutanyakan, pernahkah?

Pada titik itu, keberhasilanmu sebenarnya sudah baik. Tapi ada satu hal yang mungkin kurang bagimu—satu hal yang belum kamu miliki. Yaitu dia, sosok yang mencintaimu.

Bayangkan jika kamu memiliki pendamping—atau biasa disebut pacar, kekasih, atau apalah, semua pencapaianmu pasti akan memiliki tujuan. Akan ada deadline di sana. Karena, mau nggak mau, kamu harus mencapai titik suksesmu sebelum kalian menikah. Dan ketika semua itu sudah tercapai, maka di situlah letak keberhasilanmu berada.

Tapi, pernahkah kamu membayangkan jika sebenarnya kamu nggak butuh sosok pendamping, lalu berpikir jika selama ini keluh kesahmu hanya butuh wadah?

Kamu memiliki tumpukan cerita dan berusaha untuk menumpahkannya pada seseorang. Namun kebanyakan dari mereka menghindar karena tidak memiliki wadah atau tempat untuk menampung cerita-ceritamu.

Kita nggak butuh pacar, tapi keluh kesah kita butuh wadah.

Kita nggak butuh pacar, tapi isi kepala kita terlalu penuh untuk disimpan sendiri.

Kita nggak butuh pacar, tapi pulpen kita butuh lembaran kertas.

Detik ini, timbul satu pertanyaan sulit yang semesta hadiahkan untuk diriku.

‘Han, mulai sekarang kamu butuh wadah, kan?’

Bekasi, 28 Agustus 2015
Dariku, lelaki yang butuh wadah terbaik.

Rabu, 19 Agustus 2015

Gadis Sederhana

Seorang bangsawan rela membayar ratusan juta demi tidur di kamar hotel Manhattan.

Sekumpulan lainnya menempuh ribuan kilo, ke Alaska, demi tidur di atas gundukan salju dan di bawah kilauan bintang.

Tapi aku hanya ingin tidur di pundakmu, sayangku. Semalaman, sampe bosan.
..

Warga Skotlandia berbondong-bondong menghadiri Festival Edinburgh Fringe, demi melihat komedian idolanya tampil.

Sama halnya dengan warga Jerman yang berkumpul di pelataran bar demi menghadiri festival Oktoberfest.

Tapi aku hanya ingin duduk di sampingmu, manisku. Sambil menyaksikan program tivi yang kamu suka.
..

Teman dekatku berkata jika Alain Ducasse adalah tempat makan terbaik di semenanjung Eropa.

Sedangkan pengamat kuliner mengunjungi Gordon Ramsay London untuk mencicipi domba cornish yang terkenal akan lezatnya.

Tapi aku hanya ingin makanan buatanmu, cantikku. Bersama-sama, saling suap dan menatap.
..

Aku selalu menghargai kesederhanaanmu, gadisku.

Jika kamu tidur di atas bantal, aku akan tidur di pangkuanmu.

Jika kamu melahap sebatang es krim, aku akan menjilat sisanya di bibirmu.

Jika kamu ingin datang ke sebuah konser, aku akan bernyanyi di hadapanmu. Dengan suara pas-pasan dan petikan gitar tanpa nada.
..

Tetaplah menjadi gadis yang sederhana.

Yang mengayuh sepedanya dengan kuat.

Yang keringatnya mengucur dengan deras.

Yang mengenakan pakaian tanpa merk.

Yang menangis saat merasa buntu.

Yang lebih senang membaca ketimbang belanja.

Yang selalu berkata, “Nabung, bukan untuk kamu. Tapi untuk kita.”

Bekasi, 20 Agustus 2015
Dariku, pria yang sedang menabung demi ‘kita’.

Kamis, 06 Agustus 2015

Bermanjaan di Dapur

Pernah, suatu ketika, ada seorang lelaki yang memelukmu di ruang dapur. Dan ketika peralatan masakmu terjatuh dan berserak di atas lantai, lelaki itu meraihnya dengan satu tangan—karena satu tangan lainnya masih setia memelukmu, erat.

Suatu ketika, ada seorang lelaki yang menyusun kartu UNO menjadi tumpukan tertinggi. Kemudian dia tersenyum dan berkata jika permainan itu tampak membosankan tanpa hadirmu di hadapnya.

Suatu ketika, ada seorang lelaki yang menulis tahapan wacana hidup hingga satu dekade ke depan. Dari tiga puluh garis rencana, namamu dia tulis dalam dua puluh sembilan garis.

Suatu ketika, ada seorang lelaki yang telat berangkat kuliah, namun dia masih menyempatkan diri untuk sembahyang duha dan menyebut namamu dalam do’a—hingga akhirnya dia gagal berangkat karena terlalu telat.

Suatu ketika, ada seorang lelaki yang menuju rumahmu tanpa kacamata, malam hari, dan buta jalan. Di persimpangan jalan rumahmu, dia salah mengambil arus dan tersesat hingga pagi datang. Namun, ketika ditanya kenapa lelaki itu tidak jadi hadir, dia menjawab: Karena aku malu bertemu ibumu.

Suatu ketika, ada seorang lelaki yang rela membolos demi mencari uang untuk membelikanmu hadiah. Dia berhasil membeli hadiah itu, namun dia gagal menyerahkannya padamu.

Suatu ketika, ada seorang lelaki yang menulis ini pada malam hari. Menatap sebuah monitor dengan mata berkaca-kaca. Tangan kanannya digunakan untuk mengetik dan tangan kirinya untuk menyeka mata.

Suatu ketika,
ada seorang lelaki,
yang berusaha menemukanmu,
melalui kalimat sederhana ini.

Lalu bertanya,

“Gadisku, masih bolehkah aku memelukmu di ruang dapur?”

Bekasi, 07 Agustus 2015
Dariku, lelaki yang senang bermanjaan di ruang dapur.

Sabtu, 01 Agustus 2015

Sahabat dalam Diriku

Nama lengkapnya Wiki Flixiandino, namun akrab dipanggil Wiki.

Dia hanya seorang pria berusia 19 tahun yang lebih mencintai buku-bukunya ketimbang orang yang ada di sekitarnya.

Hidupnya sangat jauh dari eufemisme publik, karena menurutnya, eufemisme adalah kemunafikan para manusia yang dikemas dalam kemasan baru.

Dia sederhana dan merasa nyaman dengan posisinya.

Dia selalu bangun pukul tiga pagi dan memandang dirinya di depan cermin, berkhayal, apakah kelak di masa depan para kaum priayi memiliki wajah seperti ini?

Atau, mungkinkah saat keluarganya mengalami krisis, wajah seperti ini dapat meyakinkan sebuah instansi untuk merengkuhnya menjadi pemimpin sebuah organisasi?

Persetan,
pemimpin tidak tumbuh dari golongan introvert.

Mereka, para introvert, hanya membangun masa depannya di dalam kepala. Membangun semua konsep hebatnya di balik imajinasi.

Inovasi mereka memang nomer satu, tapi opini publik masih percaya, jika terang yang malu akan kalah saat bertemu gelap yang berani.

Ekstrovert memiliki ide yang terbatas, namun berani mengembangkannya.

Sedangkan introvert?

Selalu berjalan pada garis tubuhnya sendiri.
Berputar-putar di dalam ruang lama.
Dan terjebak pada pencurian ide masa depan.

Tapi aku percaya pada Wiki. Dia seorang inovator yang dapat berkembang. Seorang visioner yang dapat menyusun bongkahan bata kecil menjadi istana super megah. Dia, dan mimpinya, akan berkembang menjadi sosok yang kuat di tahun yang akan datang.

Seorang teman pernah berkata pada Wiki untuk merubah gaya penampilannya.

Kau lusuh, begitu kata temannya.

Tapi Wiki tidak peduli. Badannya yang sedikit kurus dibalut dengan kaos oblong dan celana jeans hitam yang lebih dari sebulan tidak bertemu butiran detergen. Dia berjalan menembus kerumunan, seakan-akan suatu saat nanti gaya berpakaiannya akan ditiru oleh seluruh mahasiswa di jagad raya.

Kata lusuh memang sudah melekat pada diri Wiki sejak duduk di bangku sekolah. Keluarganya tidak punya cukup banyak uang untuk membelikannya baju baru. Bahkan, beberapa pakaiannya adalah hasil hibahan dari sepupunya yang memiliki ekonomi lebih baik.

“Memang kau tidak malu?”

Kalimat itu selalu terucap oleh ibu dan ayahnya. Namun, lihat, apa yang dia jawab.

“Aku cuma malu kalau bodoh.”

Sekali lagi, Wiki lebih paham tentang konsep kehidupan. Menurutnya, pakaian tidak memberikan masa depan yang gemilang. Karena tanpa ilmu dan kecerdasan, pakaian bagus hanya terlihat seperti atribut tanpa arti.

Aku, sebagai teman dekatnya, selalu senang berbagi dengannya. Dia pendengar sekaligus pencerita yang baik. Bahkan, ketika aku ingin berjumpa dengannya, dia selalu mudah ditemukan.
Rumah, adalah satu-satunya tempat di mana ia selalu menghabiskan hari-harinya.

Dan di situlah tempat kami menghabiskan waktu berjam-jam demi sebuah diskusi tanpa tepi.

Sungguh, aku mengagumimu, Wiki. Seandainya kau berwujud, mungkin aku akan mengajakmu terbang jauh menuju North Carolina, USA—tempat di mana seorang Nicholas Sparks—penulis favoritmu—menceritakan seluruh karangan kisahnya.

Untuk temanku, Wiki Flixiandino, yang saat ini sedang berada di dalam ragaku. Jangan bersembunyi, gerakan persendian tubuhku untuk maju bersama ide brilianmu. Aku tau, kamu di dalam. Aku tau, kamu berbisik pada diriku yang lain. Aku tau, kau sedang memanfaatkan darahku untuk menulis sebuah wacana hidup. Aku tau, Wiki, aku tau, jika dirimu sebenarnya adalah aku.