Sabtu, 25 Juni 2016

Pernikahan: Ketika Hidup yang Cair Dialirkan ke Muara Baru

Minggu lalu aku dan teman sekolah mengadakan pertemuan untuk sekedar merayakan bulan Ramadhan. Seperti masyarakat umumnya, kami gemar mengadakan reuni dengan alasan berbuka puasa bersama.

Awalnya, aku ingin langsung menulis kegusaran ini ketika tiba di rumah. Namun jemariku seperti kehilangan selera bertemu papan ketik. Sekrup-sekrup di kepalaku juga seperti berterbangan entah ke mana. Sudah aku paksakan untuk menulis, namun hasilnya tetap buruk. Kalimat yang aku rangkai seperti kumpulan kata yang mendorong pembacanya untuk muntah.

Aku teringat ucapan Hemmingway tentang teknik menulis. Kalimat “You shouldn’t write if you can’t write” seakan menjadi pembela serta pembenaran bagiku untuk tetap tidak menulis. Bayangkan, bagaimana jadinya jika perasaan mengendap lama di dada namun tidak dituangkan kepada siapa-siapa. Mungkin jika ditahan satu sampai dua hari lagi, organ tubuh di area dadaku akan mengalami disfungsi dan berakhir pada kematian. Benar-benar konyol.

Jadi hari ini aku ingin menulis tentang pertemuanku bersama  teman-teman lama.

Sekitar tiga atau empat jam kami berkumpul di satu meja panjang. Membicarakan hal-hal lucu sampai kepada kegiatan serta kesibukan kita masing-masing. Banyak di antara kami yang masih bergelut dengan kuliahnya. Namun tidak sedikit pula yang sudah sibuk dengan pekerjaan dan segala hal yang menyita seluruh waktu hidupnya. Tentu dengan tiket ijazah SMA (biasanya) mereka ditempatkan sebagai operator produksi pada sebuah pabrik, yang mau tidak mau harus menukar waktu istirahatnya dengan jam kerja tambahan. Salah satu teman saya bercerita, bahwa dalam sehari dia bisa berada 15 jam di dalam pabrik. Benar-benar 15 jam. Dia harus menahan kebisingan suara mesin dan segala kebosanan yang diam-diam mengikis waktu hidupnya.

Dari satu cerita yang terbentur cerita lain. Tiba-tiba ada satu berita menarik yang dituturkan oleh teman bernama Ulfi. “Temen-temen,” kata dia, sambil menggigit bibir bawahnya. “Akhir tahun ini, gue rencananya mau nikah. Kira-kira kalian bisa dateng nggak?”

Tentu saja bukan pertanyaan Ulfi tentang kehadiran yang menjadi permasalahan. Melainkan keputusannya untuk menikah itu sendiri. Jika dilihat dari usia, Ulfi memang sudah matang. Umurnya 20 tahun, sama seperti usiaku. Hanya saja dia perempuan, yang dalam budaya kita sudah menjadi kodrat umum menikah di usia muda. Atau paling tidak, tidak terlalu tua.

Aku merasa kehilangan mendengar kabar itu. Bukan karena aku menyukai Ulfi dalam konotasi intim. Tapi karena dia salah satu bagian dari teman sekolahku, dan dia pula orang pertama yang memutuskan untuk menikah. Jadi, kemungkinannya untuk terus bertemu dan berbincang dengan kami akan berkurang. Menyedihkan, namun itu bagian dari kedewasaan. Tidak ada satu pun dari kita yang mampu menolak proses. Karena sekalipun kita menghindari kedewasaan, usia akan terus berjalan. Energi menjadi satu-satunya bukti perubahan. Dan yang paling mengerikan adalah: kesepian.

Entah setiap kali mendengar kabar pernikahan—khususnya dari teman dekat—aku selalu terbayang-bayang puisi Chaeril Anwar yang berjudul Tak Sepadan. Puisi ini selalu mewakili perasaanku tentang kehilangan. Bukan kehilangan dalam makna sederhana. tapi kehilangan dalam makna buruk yang luar biasa. Karena pernikahan adalah perpisahan abadi antara kita dan orang tercinta. Pernikahan merombak seluruh alur kehidupan kita. Yang lebih kontras lagi, pernikahan sanggup mengubah perilaku dan kebiasaan setiap individu. Maka dari itu pernikahan adalah perpisahan terbesar nomor dua dalam hidup, setelah kematian. Apalagi jika objek yang menikah itu adalah orang terkasih, bisa-bisa kamu berkeyakinan bahwa kematian masih lebih baik dari pernikahan.

TAK SEPADAN
Oleh: Chaeril Anwar

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk sumpahi Eros.
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga dinding terbuka.

Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.
(Februari, 1943)

Pertama kali aku membaca puisi tersebut kurang lebih dua tahun lalu, ketika usiaku 18 tahun. Saat itu aku membayangkan orang terdekatku (dalam arti benar-benar dekat) dinikahi oleh pria lain. Dia bersenang-senang membangun keluarga, mendidik anak, serta mewarnai malam dengan canda dan tawa, sementara aku? Terpanggang tinggal rangka.

Tapi kemudian aku teringat bahwa hidup ini cair. Segalanya dapat berubah kapan saja. Tak ada yang bisa dipaksakan tetap. Yang sendiri, kelak akan memiliki pendamping. Yang hidup, kelak juga akan mati. Konsep hidup selalu seperti itu, tak pernah berubah.

Bayanganku tentang kehidupan dewasa semakin kalut ketika grup-chat yang berisi teman sekolah itu beramai-ramai membicarakan tentang pernikahan dan hal-hal lain yang merujuk ke arah asmara. Aku yang paling disudutkan di sana. Karena perempuan terdekatku dulu tidak hadir dalam acara buka bersama tersebut. Kikuk rangkaian kataku ketika salah seorang teman mengirim foto yang berisi wajahnya sedang tersenyum bersama lelaki lain. Bukan karena cemburu atau merasa kalah, tapi aku merasa…. Entahlah, seperti ada sesuatu yang ganjil. Jika diibaratkan, keganjilan itu tampak seperti benda yang tidak ditempatkan pada posisi aslinya. Rasanya ingin membenarkan, tapi benda itu sudah merasa tepat di sana. Jadi tak perlu ada pergeseran.

Ketakutanku di usia 18 terbukti sekarang. Meski belum pasti, namun sepertinya dia benar-benar akan menikah dengan pria dekatnya itu. Aku ulangi sekali lagi, tidak ada kecemburuan apalagi kegusaran karena kalah. Tidak. Aku hanya merasa ganjil, itu saja.

Belakangan aku sudah melupakannya, dan mencoba berbaur dengan hidup. Usiaku sekarang 20. Masih banyak laut yang harus aku selami, ombak yang harus diterbos, serta batuan es yang harus dibelah. Jika hanya memikirkan perihal asmara, kapan aku bisa membekukan hidup? Kapan aku mendapat perlakuan baik dari semesta?

Tentu saja aku tahu pernikahan dapat mengubah seluruh tatanan hidup yang ada. Tapi bukan berarti kita terpatri dengan keyakinan bahwa dengan pernikahan orang terdekat hidup kita akan selesai. Tidak seperti itu. Hidup tidak hanya memiliki satu garis. Itupun kalau kita jeli.

Bekasi, 25 Juni 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar